Ya,
diriku emang sempat bingung dengan yang namanya “filsafat”. Sebagian orang
mengatakan bahwa filsafat itu membingungkan, pemikir berat dan bahkan bikin
stress, katanya. Tetapi selama ini,
diriku juga dibikin penasaran ya, dengan
yang namanya filsafat. Karena itu, ku coba mempelajari sedikit demi sedikit
untuk menyembuhkan rasa penasaranku. Awal mempelajarinya, kayaknya sih nggak
seburuk yang ku kira. Mungkin karena terlalu beranggapan bahwa filsafat itu
sulit, sehingga terkesan berfilsafat itu sangatlah urgen. Padahal dalam kehidupan
kita, pastinya kita pernah ngalamin yang namanya penasaran, bingung, pengen
tahu dan semacamnya. Yang salah satunya kita sudah berfilsafat guys.. Oleh karena itu nggk usah takut belajar
filsafat. Santai aja.. Ikuti selanjutnya
okay.. tetap semangat belajar.. yupz.
Emang
sih, kelihatannya filsafat itu membosankan, akan tetapi jika kita telusuri
lebih mendalam, filsafat itu bikin bahagia loh.. nggk percaya, buktikan
sendiri...
Kalian
perlu tahu...
Sebenarnya
filsafat itu tidaklah bertentangan dengan ajaran agama, mengapa? Karena
disetiap agama diajarkan untuk berpikir, misalnya di agama islam dalam
al-Qur’an surat al-Alaq ayat 1-5 telah dijelaskan bahwasannya kita diwajibkan
“membaca”, maksudnya berpikir tentang alam semesta ini. Sedangkan berpikir
temasuk dalam kajian filsafat itu sendiri. Perlu diketahui, sebenarnya
ilmu-ilmu yang lain, termasuk matematika, fisika, kimia, psikologi, sosiologi
dsb. Pada mulanya bersatu dengan filsafat. Akan tetapi pada masa Yunani
ilmu-ilmu ini memisahkan diri dan menjadi ilmu yang partikular. Akan tetapi
saat ini antara filsafat dan ilmu pengetahuan saling berinteraksi, saling
melengkapi satu sama lain.
Asal kata Filsafat
Dahulu Phytagoras, seorang filsuf Yunani kuno
mengambil kata filsafat dari bahasa Yunani, yakni philo dan shopia.
Philo yang berarti cinta sedangkan shopia berarti kebijaksanaan.
Maka philoshopia berarti cinta kebijaksanaan. Mengapa cinta
kebijaksanaan, kenapa tidak bijaksana saja? Karena jika kebijaksanaan saja,
tidaklah pantas diemban kita, kebijaksanaan hanya pantas dimiliki oleh Allah
SWT. Kemudian kata filsafat diadopsi orang-orang Arab, menjadi “falsafah”,
dan dalam bahasa Inggris “philoshopy”. Berfilsafat berarti juga
memecahkan suatu permasalahan yang dibingungkan.
Tau
nggk, ternyata filsafat itu nggk hanya orang barat yang tertarik
mempelajarinya, filsuf muslim pun ikut andil guys.. al-Kindi, al-Farabi, ibnu
Sina dan masih banyak lagi. Tau nggk, ternyata ilmu itu nggk sesempit yang Gue
kira, tapi jangan khawatir semasih ada semangat dan kemauan untuk belajar,
pasti dapat diatasi.. oleh karena itu nggk usah khawatir yang over.. he he
Apa benar filsafat
islam itu copy paste pemikiran Yunani?
Sebagian mengatakan demikian, akan tetapi yang menolak
jauh lebih banyak. Kembali ke masa lampau, pada masa Abbasiyah yakni pada pemerintahan
khalifah Harun al-Rasyid dan putranya
al-makmun, diadakanlah penerjemehan besar-besaran ilmu pengetahuan, yang
ditandai dengan berdirinya perpustakaan besar Baitul Hikmah. Begitu juga dengan filsafat Yunani kuno ikut
diterjemahkan. Singkat cerita, akhirnya mulai dipelajari. Akan tetapi, walaupun
mempelajari tidaklah harus sama. Sangat jelas perbandingannya antara filsafat
islam dengan filsafat Yunani kuno. Jikalau karya Yunani hanya berpedoman pada
nalar saja. Sedangkan filsafat islam berpedoman pada al-Qur’an dan hadis.
__Sekilas
tentang filsafat Islam__
Perjalanan
epistimologi fisafat islam, tidaklah semulus yang diperkirakan. Dalam
perkembangannya, dari masa ke masa mengalami sesuatu hal yang sangat urgen dan
hal ini akan lebih baik, jikalau dikaji lebih signifikan. Filsafat Islam baru
dikenal, mungkin berawal dari penerjemahan karya-karya Yunani klasik, seperti
Plato, Aristoteles dan sebagainya. Yakni pada masa keemasan khalifah Harun
al-Rasyid dan al-Makmun. Al-kindi adalah
tokoh filosof muslim pertama yang ikut andil mempelajari filsafat, kemudian
diteruskan oleh al-Farabi, Ibnu Sina, ibnu Rusyd, suhrawardi dan sampai
filsafat Hikmah al Muta’aliyah Mulla Sadra.
Meskipun
filsafat Yunani sangatlah berpengaruh terhadap filsafat Islam, akan tetapi
filsafat islam tidaklah berdasarkan filsafat Yunani. Sebab, berguru tidak
harus menunjukkan sesuatu yang sama,
setiap pemikiran tidak lepas dari latarbelakang budaya masing-masing, memang kenyataannya filsafat islam lebih mapan
sebelum datangnya filsafat islam. Apalagi filsafat islam disinergikan atau
berpedoman pada al-Qur’an dan hadis. Sedangkan filsafat Yunani hanyalah
didasarkan pada kemampuan nalar saja, di sinilah letak perbedaannya. Dalam
perkembangannya, filsafat islam dituding miring oleh sebagian kalangan, seperti
tuduhan Ernest Renan (1823-1893 M) atau dari Pierre Duham (1861-1916 M) bahwa
filsafat islam hanyalah copy paste semata dari karya Yunani yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Akan tetapi hal ini ditolak keras oleh
sebagian pengkaji yang lain. Seperti Oliever leaman (1950 M) (orientalis asal
Universitas Kentucky USA) “adalah suatu kesalahan besar, jika menganggap
filsafat islam bermula dari penerjemahan teks Yunani tersebut atau hanya
nukilan dari filsafat Aristoteles”. Jikalau menganggap filsafat Islam hanyalah
hasil peniruan semata, hal ini tidaklah sepenuhnya benar. Mengapa? Karena di dalam agama Islam telah dijelaskan
bahwasannya kita diwajibkan untuk berpikir, “memikirkan ciptaan-Nya, bukan
zat-Nya”. Begitu pun terbukti dalam al-Qur’an surah al-Alaq ayat 1-5 Allah SWT.
berfirman agar kita (manusia) membaca ciptaan-Nya, berarti disini diwajibkan
memikirkan ciptaan-Nya. Cukup jelas bahwasannya filsafat islam bukanlah hasil
salinan semata.
Dalam
perkembangannya, filsafat islam sangatlah berlaju pesat, walaupun dalam
sebagian buku karya barat, filsafat islam tidaklah diakui. Padahal tanpa adanya
penerjemahan karya Yunani kuno yang dilakukan pada masa kejayaan islam, mustahil
filsafat di barat berkembang pesat seperti saat ini.
Jika
dirunut lebih jauh, semua ini terasa menyenangkan...
Perlu
kita ketahui para filosof muslim pemikirannya tak pernah lepas dengan
berdasarkan dalil al-Qur’an dan hadis. Dalam hal ini, antara filosof yang satu
dengan yang lain tidaklah sama dalam mengumukakan pendapatnya.
Epistimologi
rasio dan intuitif memiliki peranan penting dalam perkembangan filsafat Islam. Filsafat
islam ini identik tidak hanya pada kemampuan nalar saja. Karena jika hanya
mengandalkan kemapuan akal (ratio), akal tidaklah selamanya mengerti
atau dapat memecahkan semua hal termasuk pengetahuan metafisika atau tidak kasat
mata.
__Ternyata
Tarekat itu seperti Lembaga Pendidikan__
Loh
kok bisa? Mengapa? Apakah tarekat juga mengajarkan ilmu pengetahuan seperti
pelajaran formal ataukah non formal? Atau hanya terbatas pada dzikir atau
amalan saja? Atau hanya sebuah organisasi spiritual? Atau, bisa jadi hanya
sebatas penyebutan. Apakah terdapat tenaga pengajar atau, mungkin seperti di
sekolah, guru mengajar di depan kelas?, sebelum mengenal kata “tarekat”
sepertinya pertanyaan-pertanyaan aneh, dan membingungkan mulai terngiang-ngiang
di kepala, jika dianalogikan, seperti
hentakan kode biner dari keyboard menuju seluruh instrumen komputer dan
mengirim hasil kebingungannya di layar monitor (acak-acakan hasilnya).
Wizzt..
maaf he he.. jadi salah sasaran..
Secara
etimlogi tarekat berasal dari masdar kata يطرق-طرق yang memiliki arti jalan atau
cara, metode, sistem, aliran, haluan dan keadaan. Tarekat menurut penulis lebih cenderung dikatakan
sebagai lembaga atau organisasi dalam melaksanakan spiritualnya, dengan
dipimpin atau dibimbing oleh seorang mursyid. . Mengutip jurnal Agus Riyadi, tarekat adalah
organisasi sosial yang praktis bersentuhan dengan kehidupan sosial
kemasyarakatan. Bisa dikatakan bahwa tarekat adalah sebuah organisasi yang
mewadahi atau tempat yang diajarkannya proses spiritual dalam rangka menddekatkan
diri kepada Allah SWT.Tarekat juga memiliki silabus, peraturan, metode dan
sebagainya. Sebagaimana seperti madrasah dan bisa dikatakan pula tarekat adalah
cikal bakal dari madrasah atau lembaga pendidikan.
Beberapa
pengkaji mengatakan bahwasannya sistem tarekat ini awalnya sebagai bukti oposisi
terhadap kebijaksanaan pemerintahan pada masa itu. Yang cenderung tenggelam
dalam kehidupan yang sekuler, hedonistik, materialistik dan melupakan ajaran keruhanian.
Kemudian muncul beberapa tokoh sufi seperti Hasan al-Bashri (w. 101 H) dengan
ajaran khaufnya, Rabi’ah al-‘Adawiah dengan sistem mahabbahnya. Pada abad ke
1-2 kata tarekat belum muncul, begitupun dengan kata tasawuf belum ada. Barulah
pada abad 3-4 tasawuf mulai dikenal oleh masyarakat. Seiring berjalannya waktu,
abad 5 pun muncul dengan terkenal dengan masa konsolidasi yang tokoh
terkenalnya Al-Ghazali.
_Benarkah Agama sebagai Candu Masyarakat?_
_Benarkah Agama sebagai Candu Masyarakat?_
Mengutip
pembicaraan filosof barat terkenal yakni Karl Max (1818-1883 M), ia beranggapan
bahwasannya agama hanyalah sebagai “candu masyarakat” dan merusak tatanan kelas
masyarakat. Agama baginya hanya sebagai pelarian semata, dari kelas buruh dalam
struktur sosial masyarakat. Beralih terhadap perkataan Freud bahwa agama
hanyalah angan-angan saja. Tak ketinggalan juga dengan tokoh satu ini David Hume
menegaskan, bahwa agama membohongi diri sendiri, karena agama tidak dapat
dibuktikan dengan data empirik. Begitu pula yang dialami Friedrich Nietzche
(1844-1900 M), ia mengatakan, “Tuhan telah mati (God is Dead), kita
semua membunuh Tuhan (we have killed him)”. Argumen-argumen ini, secara
eksplisit memang menolak Eksistensi Tuhan. Akan tetapi, pada segi implisitnya
mereka mengakui adanya Tuhan atau pernah ada.
Kembali
terhadap penolakan Karl Max agama sebagai candu, bukan berarti Karl Max menolak
adanya agama. Akan tetapi dia menolak agama yang dipergunakan sebagai instrumen
dalam memenuhi tingkat kemampuan antara kaya dan miskin. Agama dijadikan
sebagai legitimasi politik, yang mana hal ini tidaklah sesuai dengana esensi
agama yang sebenarnya. Hal inilah yang disebut agama sebagai candu masyarakat.
0 Comments