Kutapaki
tebing-tebing yang terjal yang agak brutal. Membawaku terengah-engah serasa
napas tinggal hanya di kerongkongan. Selangkah lagi aku akan segera sampai
menuju tempat yang aku impikan. Di mana tempat aku memulai kisah ku dengan
gadisku setahun yang lalu. Gadis yang tak pernah jemu di pandang, ayu nan
rupawan.
Kakiku
terasa terkilir oleh batu di dekat persimpangan tebing menuju bukit pertama
kali bertemu. Aku terpaksa berhenti memijat kakiku yang terasa kaku. Aku lupa
sesuatu, di tas kubawa minyak urut untuk persediaan perjalanan yang meletihkan
ini. Ku pijat kakiku, hingga tak terasa lagi, namun tetap saja masih bengkak.
Kalau
bukan karena kau, aku tak mungkin memantapkan hati, menaiki tebing yang terjal
ini, demi untuk sampai di tempat pertama kali bertemu setahun yang lalu. Jujur
ku tak pernah membayangkan tentangmu. Ku yakin kau semakin dewasa dengan
rambutmu yang semakin panjang dan bola mata yang bulat, alis yang tebal, bibir
yang merekah, dan pipi yang merona laksana putri kayangan.
Pepohonan
saling melambai-lambai menyaksikan aku yang bersusah payah menahan letih dan
susah. Dedaunan beradu-radu, bertepuk tangan riuh. Suara kicauan burung
menyanyi-menyanyi sembari menyemangatiku dalam perjalanan. Bukannya aku tak mau
menaiki kendaraan menuju atas bukit itu, namun memang jalan yang tak
memungkinkan jika aku membawa kendaraanku ke atas bukit sana. Apalagi jalan
yang cukup licin, juga menjadi salah satu penyebab aku tak mengendarai mobilku.
Akhirnya ku putuskan untuk jalan kaki, sembari membawa ransel yang ada di
punggung ini.
Matahari
mulai memberikan tanda-tanda tak bersahabat denganku, cerahnya mulai redup.
Seiring dengan bergantinya awan putih berganti awan gelap bergulung-gulung.
Padahal tinggal beberapa meter lagi, aku akan sampai. Namun, cuaca hari ini
semakin tak bersahabat denganku. Aku putuskan untuk memakai mantel yang telah
aku persiapkan sebelum keberangkatan.
Aku
telah terlanjur berjanji kepadanya untuk menemuinya di bulan januari tahun baru
ini. Tadi pagi aku telah menelponnya, bahwa aku akan menginap di rumah
pamannya. Tempat di mana kita pertama kali bertemu dulu.
“Hallo”,
di ujung sana seorang perempuan mengangkatnya
“Apakah
ini dengan Rahma”
“Iya,
saya sendiri, ada apa ya”
“Saya
Robi, kamu sekarang di mana”
“Kamu,
wah lama tak bertemu, aku ada di rumah paman nih”
“Okay,
nanti sore aku ke sana, sekalian mampir ya”.
**
Akhirnya
aku sampai di depan rumah pamannya. Ku ketuk pintu kayu itu, seseorang membuka
gagang pintu. Ternyata yang keluar adalah seorang perempuan setengah baya.
“Cari
siapa ya”
“Rahmanya
ada Bu, saya temannya”
“Duduklah
terlebih dahulu nak”, perempuan itu tak meneruskan percakapannya, lantas
berbalik arah menuju ke dalam rumah.
Aku
masih terpatung, bukankah tadi aku telah menelpon gadisku setahun lalu itu.
Mengapa dia tak muncul juga. Ada apa gerangan. Apakah dia lupa?. Perempuan tadi
muncul di balik pintu dengan membawa nampan berisi teh panas dan beberapa kue
kering.
“Monggo
dilahap dulu nak”
Setelah
itu, perempuan ini menjelaskan padaku, bahwa Rahma telah meninggal satu bulan
yang lalu. Ia sakit demam yang berlebihan, dan akhirnya ia tak tertolong.
Mendengar pernyataan ini hatiku terasa hancur, remuk tak berdaya. Tangisku
pecah bukan main.
***
Aku
tersentak dari dalam tidurku, ketika ada seseorang yang membangunkanku seakan
terdapat dua alam dalam hidupku. Aku tak mengerti mengapa dia gadis yang aku
telepon pagi hari mengatakan ia ada di rumah pamannya. Namun, perempuan
setengah baya tadi mengatakan gadisku telah tiada.
“Kak
bangun”,
Aku
tersentak, aku bermimpi gadis yang aku harapkan masih ada di sampingku, yang
akan menjad ibu untuk anak-anakku.
“Aku
bersyukur , ini hanya mimpi. Ku peluk dia, tanpa terasa air mataku mengalir
membanjiri pipi. Begitu sayangnya diriku, rasanya tak mampu bila aku kau
tinggalkan, wahai gadisku.
*) Seperti halnya cerpen yang lain, cerpen ini aku tulis dengan amat sederhana. Oleh karenanya aku sangatlah mengharap kritik dan saran yang sangat membangun untuk lebih giat lagi dalam menulis.
0 Comments