Matahari
menyemburatkan sinarnya, kuning kemerah-merahan. Rasanya hangat bila terkena
sinarnya. Gelombang air berkejaran bagaikan selendang yang diayun-ayunkan.
Burung-burung pun terbangun menikmati terpaan sinar mentari yang mempesona itu.
Kutatap
wajahmu dari kejauhan, rambutmu terasa mewangi diterpa bisik-bisik angin pantai
pagi ini. Padahal jarak antara kita
lumayan cukup jauh, namun aku dari sini bisa merasakan detak jantungmu yang
kian beradu. Gelak tawamu memikatku membawa langkahku untuk terus mendekat-mendekat.
Tak terasa aku berada tepat di
belakangmu. Kepercayaanku semakin kuat, apalagi dengan diiringi musik
gelembung-gelembung cinta yang membikin aku terbius lupa dengan keadaanku saat ini. Pipimu yang
kemerah-merahan membikin jantungku terasa berhenti berdetak. Kakimu begitu mulus, bak mutira putih yang amat mahal
harganya, pantaslah jika aku mengira
betismu sedang memakai stoking. Namun aku’ salah, kulit itu memang benar,
bersih tanpa bintik-bintik sisa cacar. Aku terperangah, tak berani untuk
melangkah lebih dekat lagi.
Dua meter
lagi aku akan sampai di depan mawar yang
mekar ini. Seisi alam serasa sama-sama mengejek ketak beranianku untuk mendekati gadis mawar yang baru merekah
itu. Mungkin hanya kali ini, aku berkeringat dingin untuk mendekati gadis mawar yang baru kenal tadi pagi ini. Belum
kenal benar aku akan namanya. Kukuatkan
hati dan pikiranku, kucoba dekati gadis ayu itu. Tiba-tiba langkahku berhenti berbarengan
dengan seorang anak kecil yang
melambaikan tangannya sembari di gendong seorang lelaki kekar.
“Mama”
gadis tadi yang ku amini menyapanya dan seraya mendekati anak itu.
“Iya sayang”
Ah lagi-lagi sial, ternyata wanita itu telah
bersuami. Rasanya mau remuk saja. Ku kira gadis tadi pagi masih jomblo. Wanita
tadi malah berjalan meninggalkanku pergi menjauh berjalan bertiga dengan
mesranya.
Aku yang melihat adegan itu, hanya mampu
menatap sembari meratap nasib tanpa pendamping hidup “ngenes”. Kususuri
pantai pagi ini, sembari menatap gadis impian yang ternyata telah menikah.
“Aduhai diri yang malang, betapa malangnya
nasibmu, sendiri tanpa seorang kekasih. Menunggu dia yang terkasih, yang belum
kunjung datang dalam dekapan ini”.
Matahari semakin meninggi, perahu nelayan
sama-sama mendekati pantai membawa rizki halal untuk anak dan isterinya.
Kutinggalkan pantai ini menuju penginapan, sembari menikmati pagi tanpa pujaan
hati.
*) Sebuah cerpen yang aku tulis dengan rasa yang berbeda, baru beberapa kali aku mencoba untuk menulis cerpen. Aku sangat mengharap kritik dan saran yang sangat membangun untuk proses pembelajaran menulisku.
0 Comments