“Mengapa Berubah-Ubah?”
Oleh Nurhalimah*
Sudah kukatakan berulang kali kata menyerah itu tak harus ada di
dalam kepala dan hati ini. Namun nyatanya menyerah itu datang tanpa pernah
terkendali. Datang tak pernah diundang dan pulang sendirian. Layaknya jailangkung
yang pergi tak diantar dan pulang tak dijemput.
Sumber : google |
Perubahan-perubahan itu datang layaknya cuaca yang berubah pada
hari ini dan hari sebelumnya dan hari-hari setelahnya. Tanpa aku pernah sadari
dan tak pernah diduga-duga. Layaknya kecepatan angin yang selalu berubah-ubah.
Kadang cepat-kadang lambat, lambat selambatnya, lalu cepat secepat-cepatnya.
***
Matahari menyemburatkan sinarnya kemerahan-merahan, berlapis cahaya
emas seraya menembus segala penjuru. Menembus air danau yang tenang. Menembus
pegunungan hijau. Menembus kegelapan subuh, yang sedari tadi remang-remang
saja. Sisa-sisa embun berjatuhan seperti bebuahan yang rontok diterpa oleh
angin barat.
Namun, itu hanya sebentar,
tak lama. Sekitar pukul 09.00 pagi cahaya dan keindahan sinar kemerah-merahan
berlapis cahaya emas seraya menembus segala penjuru itu menghilang, hilang tak
kutemukan jejak-jejak kakinya, baunya pun tak ada, apalagi bentuknya. Kemana
larinya? Lari tanpa memberikan isyarat apapun.
Beberapa saat hujan malah mengguyur apapun yang telah terkena
terpaan sinar matahari tadi. Sekawanan katak mencak-mencak di sawah dekat
rumah, bunyinya yang makin memblinger setiap pendengarnya. Diri yang
berubah-rubah malah menertawakan sekawanan katak yang melakukan atraksinya itu.
Bersorak-sorak menertawakan matahari yang telah hilang. Mereka berlaria-larian,
bekejar-kejaran layaknya makhluk-makhluk yang merindukan, mengamini hujan
selama hidupnya.
Lain halnya dengan sekawanan burung yang tertatih-tatih menggepak-ngepakkan
sayapnya. Terbang rendah, wajahnya kuyu, lesu, tak bergairah. Sayap-sayapnya
dingin, sedingin es di kutub utara. Terbangnya tak menentu serasa oleng diterpa
guyuran hujan dari atas sana. Ia tak pernah menduga, dan tak pernah menyangka
hujan akan datang pagi ini. Ia tak menyiapkan mantel untuk menaungi diri,
sehingga ia terpaksa mencari tempat untuk melindungi diri.
Sejurus lamanya kupandang cuaca hari ini, tiba-tiba sinar matahari
malu-malu memunculkan sinarnya. Air hujan yang tadinya membasahi segala yang
dihinggapinya, kini menghilang, entah kemana. Dan hanya meninggalkan bekas yang
sangat menyesakkan bagi sekawanan katak. Burung-burung tadi bersorak gembira
menyanyikan lagu keindahan yang tak terperikan sebelumnya. Sayap-sayap yang
basahnya mulai merekah kembali, dingin setiap rajutan sayapnya tak sedingin es
kutub utara lagi. Ia kepakkan sayapnya, memacu ketinggian, menerbas udara,
dengan wajah sumringah sembari menggendong anak-anaknya dari sarangnya.
Muncullah pelangi dengan warna MEJIKUHIBINIU. Ah, sejenak aku terpukau
kembali. Konon katanya fenomena pelangi ini dikatakan ada bidadari mandi. Tentu
ini bertentangan dengan pelajaran fisika yang pernah aku pelajari di bangku
sekolah. Guruku bilang terjadinya pelangi karena diakibatkan oleh pembiasaan
cahaya. Sisa-sisa air hujan terkena sinar matahari, akhirnya terjadilahan
fenomena pelangi. Apakah benar bidadari mandi? Jika bidadari mandi, berasal
dari manakah ia. Apakah hanya sekadar mandi? Atau hanya berfantasi saja.
***
Bunyi guntur seakan-akan membelah angkasa biru. Kilatannya
memecahkan siapa pun yang ada di depannya.
Ku terpukau lagi. Tiba-tiba hujan turun kembali. Padahal aku belum
sempat untuk beranjak dari tempatku duduk. Pelangi yang tadi sumringah malah
mulai menghilang sedikit demi sedikit. Entah kemana perginya, lagi-lagi tak
memberikan komanda.
Sekawanan burung berbondong-bondong kembali ke sarangnya. Dari cara
terbang dan wajahnya menampakkan kekecewaan yang luar biasa. Tak sampai lama
sekawanan burung itu hinggap di dahan-dahan mencari makan. Hujan malah
mengguyur dari atas sana. Seakan-akan ditumpahkan dengan sengaja. Seakan-akan
ini hanyalah permainan Sang Pencipta dalam mengatur cuaca.
Sekawanan katak sangat sumringah dengan datangnya hujan lagi.
Mereka mengira bahwa matahari telah lelah. Karena lelah ia terlelap dan
akhirnya tertidur. Maka hujan pun mengguyur bumi tanpa terkendali lagi.
Sejenak aku berpikir lagi, “Mengapa hujan terjadi dua kali?”.
Tak ada yang menjawab pertanyaanku. Hanya suara aduan air hujan
dengan benda-benda sekitar seperti gesekan genteng, air dari pancuran, dan
suara katak yang mendayu-dayu layaknya paduan suara. Sangat kompak suara
mereka, tanpa piano, tanpa gitar, tanpa kecapi, tanpa gendang, tanpa microvon,
mereka dapat menyanyi sangat fasih dan kompak. Hewan seukuran genggaman tangan
dapat menggoncangkan luasnya sawah, menerabas hujan dengan tertawa
terbahak-bahak.
***
Esok harinya, hujan mengguyur pagi-pagi, aku tak habis pikir
mengapa hujan datang kembali. Apakah bumi sedang bersedih. Padahal aku sudah
tak bersedih lagi. Hujan kali ini berbeda dengan hari kemarin, hujannya
bagaikan dihempaskan dengan bersama kilatan yang membara, membahana memecahkan
seisi langit. Pepohonan, dedaunan, terayun-ayun terombang-ambing diterpa
derasnya hujan dan angin.
Aku yang menyaksikan dari dalam rumah, lantas lari menuju Ibu yang
sedang menyiapkan makan pagi.
“Kenapa lari Dun”
“Ma,”
“Iya kenapa?”
“Saya merasa ganjil, kenapa ya cuaca berubah?”
“Mengapa cuaca berubah, tak lain dan tak bukan inilah kekuasaan
Sang Maha Kuasa. Layaknya diri kita yang selalu berubah rasa dan pikiran kita.
Sekejap berubah, sekejap iya, sekejap lagi tidak. Kadang sedih, kadang susah.
Pagi senang, malam sedih. Sejam menangis, sejam lagi bahagia. Itulah kehidupan
wahai anakku. Hidup ini selalu berubah-rubah dan tak pernah kita sadari perubahannya.”
Begitukah kehidupan? Hidup yang berubah-rubah kadang di atas,
kadang di bawah. Kadang kaya, kadang miskin. Kadang menangis kadang sudah.
Itulah dinamisasi dalam hidup.
“Hidup ini layaknya perputaran roda, ya sama dengan cuaca yang
berubah-rubah. Kadang panas, kadang hujan, kadang berangin, kadang juga tidak.
Itulah kehidupan yang tak pernah bisa kita duga-duga berubah-ubah. Tak bisa
diterka-terka. Begitu pula dengan kematian anakku, tak kan pernah bisa kita
duga-duga sebelumnya”.
***
Kata menyerah itu tak harus ada di dalam kepala dan hati. Namun
nyatanya menyerah itu datang tanpa pernah terkendali. Datang tak pernah
diundang dan pulang sendirian. Layaknya jailangkong yang pergi tak diantar dan
pulang tak dijemput.
Perubahan-perubahan itu datang layaknya cuaca yang berubah pada
hari ini dan hari sebelumnya dan hari-hari setelahnya. Tanpa aku pernah sadari
dan tak pernah diduga-duga. Layaknya kecepatan angin yang selalu berubah-ubah.
Kadang cepat-kadang lambat, lambat selambatnya, lalu cepat secepat-cepatnya.
Aku semakin percaya dan ngakar dalam sanubari yang paling dalam,
dalam layaknya palung laut di samuder Atlantik. Bahwa inilah kehidupan yang
sulit untuk dipercaya.
*) Penulis berasal dari salah satu daerah yang terkenal dengan sebutan
kota pisang, yakni Lumajang namanya. Tepatnya di daerah Ranuyoso, salah satu
daerah pinggiran kota Lumajang. Kini penulis sedang menempuh studi di
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya di prodi Tasawuf dan Psikoterapi.
0 Comments