Filsafat Islam, begitulah yang seringkali kita dengar. Mulyadi
Kartanegara mengemukakan dalam salah satu bukunya bahwa pada era 70-an, para
penulis Barat seperti yang dilakukan oleh Majid Fakhri, melihat filsafat Islam
hanya sebatas mata rantai atau jembatan emas yang menghubungkan Eropa Kuno
dengan Eropa Modern. Atau disebut dengan Eropa-sentris. Mereka berpandangan
bahwa filsafat Islam itu telah berakhir setelah wafatnya Ibn Rusyd (W.1196).
Akibat dari bias Eropa-sentrisme ini membuat beberapa penulis Barat yang berpandangan
bahwa filsafat Islam tidaklah sungguh-sungguh memiliki filsafat. Karena
filsafat yang ada di Islam selama ini hakikatnya adalah filsafat Yunani. Di
sini terlihat bahwa filsafat Islam dipandang tidak benar-benar ada. Lantas
apakah benar seperti ini?
Untunglah, ada beberapa pemikir Barat yang mencoba mengkaji filsafat
Islam seperti halnya Henry Corbin dan Lois Massignon. Akibat jasa dari dua
tokoh inilah, filsafat Islam dianggap memiliki karakteristik yang berbeda
dibandingkan dengan filsafat Yunani.
Barangkali kita sudah seringkali mendengar berbagai tokoh pemikir
yang ada di dalam filsafat Islam. Seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Suhrawardi, dan bahkan sampai Mulla
Shadra, mungkin jikalau dikaji lebih mendalam, pemikiran mereka ini sangatlah
menarik, bahkan saya kira sangatlah unik.
Bagaimana ketika aliran Paripatetik menyebutkan tentang teori
emanasinya yakni Al-Farabi dan Ibn Sina. Di dalam menjelaskan teori emanasinya
mereka berdua sama-sama menggunakan penyebutan akal, akal yang digunakan mereka
hingga tingkatan kesepuluh, di tingkat ke sepuluh inilah tercipta manusia,
hewan, maupun tumbuhan, dan lain sebagainya.
Ternyata penganut aliran paripatetik di sini bukan hanya
dikategorikan pada Al-Farabi dan Ibn Sina saja, namun ada juga seperti
Al-Kindi, Ibn Rusyd, dan Nashir al-Din Thusi. Umumnya pemikir filsafat
Paripatetik cenderung kuat dalam menggunakan rasio, sehingga sangat kurang
memprioritaskan peranan intuitif.
Selain aliran paripatetik, ternyata di dalam filsafat Islam juga
terdapat aliran filsafat yang dikenal dengan sebutan filsafat iluminasionis (isyrâq).
Aliran ini pertama kalinya dibawa oleh salah satu pemikir Iran; Suhrawardi
al-Maqtul namanya. Al-Maqtul di belakang namanya merupakan gelar untuk
membedakan dengan Suhrawardi yang lain.
Metafisika cahaya menjadi pembahasan sentral di dalam pemikiran
Suhrawardi. Suhrawardi sendiri beranalogi bahwa Tuhan adalah sumber dari segala
cahaya. Dialah realitas sejati. Ketika dihubungkan dengan cahaya-cahaya lain
maka Tuhan adalah cahaya dari segala cahaya atau Nur al-Anwar, yakni
sumber cahaya dari segala cahaya. Teori yang dikemukakan oleh Suhrawardi ini
cukup berbeda dengan pemikiran filsafat Paripatetik, jika para pemikir
paripatetik membatasi akal hanya sampai sepuluh, sedangkan Suhrawardi tidak
membatasi sama sekali.
Selanjutnya adalah aliran irfani atau nama lainnya dikenal dengan
tasawuf. Umumnya aliran ini tidak digolongkan pada filsafat Islam, karena
penggunaan yang paling sering digunakan adalah pengalaman mistik supra
rasional, sedangkan filsafat kebanyakan menitik beratkan pada rasionya.
Seperti halnya Ibn ‘Arabi dia merupakan salah satu tokoh yang sangat monumental. Dan bahkan banyak
yang tertarik dalam mengkaji ajarannya. Ajaran yang dibawanya adalah mengenai wahdat
al-wujud (Kesatuan wujud) yang menyatakan bahwa yang wujud itu hanya satu,
sedangkan yang selainnya ini mumkin al-wujud. Yang selainnya (alam)
adalah tidak lain hanyalah sekadar tajalli atau manifestasi dari-Nya.
Setelah aliran Irfani, ternyata juga terdapat aliran yang disebut
dengan aliran Hikmah Muta’aliyyah yang diwakili oleh Shadr al-Din al-Syirazi
atau dikenal dengan Mulla Shadra. Tokoh ini menurut Mulyadi Kartanegara
merupakan tokoh yang mampu menyinergikan tiga pemikiran sekaligus yakni
paripatetik, iluminasi, dan irfani. Tentu jika kita kumpas tuntas dalam tulisan
ini, saya kira sangatlah sempit. Barangkali dilain kesempatan kita akan
membahasnya lebih lanjut mengenai pemikiran Mulla Shadra ini.
Barangkali itu saja, kurang lebihnya saya mohon maaf.
Wawwahu’alam
0 Comments