"Malam tak selamanya malam, begitu pula dengan siang, yang tak akan
selamanya siang".
Itulah kalimat yang aku dengar dari Ibuku sewaktu dia sedang
memantik korek api untuk menghidupkan tungku dapur. Sejenak aku sendiri tertegun, memikirkan apa yang Ibu katakan, sembari menatap Ibu yang lihai dalam menghidupkan api di mulut
tungku. Satu persatu kayu kering yang diambilnya di kebun belakang rumah, ia
susun di atas api yang baru ia celupkan.
" Mengapa begitu Bu", selidikku dengan wajah polos.
"Ya, itu hukum alam anakku", sembari
mendorong kayu di dalam tungku. Yang kian waktu tambah tinggi nyala apinya.
Ibu terburu-buru berlalu dari pandanganku. Ia
begitu sibuk rupanya dalam setiap paginya, dan tak jarang ia harus bangun
pagi-pagi sebelum adzan subuh berkumandang. Semenjak itu pikirku
masih melayang tak karuan mencari sebuah kejelasan yang belum kunjung datang menghampiri
diri yang kebingungan.
Di kelas Guru IPA-ku pernah berkata padaku, bahwa
adanya siang dan malam diakibatkan oleh perputaran rotasi yang dilakukan oleh
bumi dalam setiap porosnya. Ya, itulah yang dikatakan guruku
padaku.
Waktu itu, pikiranku terasa terayun-ayun,
terkilir dalam menghadapi dua pandangan
yang berbeda. Dua pandangan dari dua orang yang sama-sama aku percayai. Dua
pandangan yang tak membuat pikiranku semakin jelas dan malah terjadi sebaliknya.
Dua pandangan yang membuatku semakin kelabakan untuk memilih mana yang benar
dan yang tidak benar. Aku tak akan
pernah percaya jika keduanya memberikan jawaban kebohongan padaku. Tapi jika keduanya memberikan
jawaban kebohongan padaku, sungguh aku tak akan pernah bisa melupakan itu.
***
Pertanyaan itu rasanya belum sepenuhnya terjawab
dan memang belum pernah ada yang menjawab kebingunganku. Hingga suatu hari aku
bertemu dengan seorang Ustad yang usianya relatif muda, mungkin jika
dibandingkan abangku dia lebih tua darinya sekitar tiga tahunan. Ia mengajar di
tempat aku mengaji. Sosok Ustad yang berpeci hitam dengan baju kokonya menampakkan
karismanya yang amat apik dan menenangkan setiap jiwa yang memandangnya.
Kuceritakan semua tentang kebingunganku padanya.
Layaknya sosok anak kecil yang sedang menumpahkan segala keluh kesahnya pada Ibunya
dengan mengharapkan agar keinginannya dituruti oleh Ibunya. Tiada sedikit pun
yang tersisa untuk tidak diceritakan. Sampai tiada tersisa.
Tak terasa keringat semakin membanjiri sekujur
tubuhku, mulai dari muka, punggung, hingga jari jemariku merasakan hal yang
sama. Detik demi detik berlalu. Sedari tadi aku yang lebih banyak bercerita.
Dengan mengharap ia memberikan solusi
terhadap permasalahan yang kualami. Nampaknya dia paksa dirinya untuk menjawab
pertanyaanku yang panjang kali lebar itu.
"Pendapat Ibumu itu juga benar Radit,
begitu pula dengan jawaban gurumu itu", jawabnya mantap, sembari
memasukkan buku-bukunya ke dalam tasnya.
" Loh mengapa ada dua kebenaran
Ustad?", selidikku.
"Suatu hari nanti kamu akan tahu sendiri
jawabannya", jawabnya singkat, lalu beliau berlalu meninggalkanku.
Sumber: cisdel.com |
0 Comments