Saat mata mulai tertutup, terkatup dan tak lagi terbuka. Semua orang gempar, apalagi orang-orang di sekitarmu sama-sama menangis darah. Meratapi kepergianmu yang tak akan pernah kembali lagi.
Sudah beberapa hari ini suamimu terkapar di atas dipan rumah sakit, sembari di selang infus rumah sakit. Wajah suamimu kuyu, pucat layaknya tak ada aliran darah sedikit pun dalam tubuhnya. Kau sebagai sosok yang harus mendampinginya perlu kesabaran dan ketabahan ekstra dalam menghadapi cobaan yang datang pada keluargamu.
Meski kau ingat selalu tentang perbuatan suamimu yang pernah serong dengan wanita lain dua bulan yang lalu. Yang hampir nyaris mematahkan separuh hidupmu. Namun, kau sangat iba jika meninggalkan suamimu yang nyaris tak berdaya di atas dipan besi milik rumah sakit itu. Kau tak tega jika harus meninggalkan suamimu, meski dia pernah lukai hatimu beberapa waktu lalu.
“Kenapa kau tetap menjaganya?” tanyaku padamu suatu sore.
“Kasihan dia” ucapmu
Pernah suatu kali aku menawarkan diri untuk menjadi pengganti suamimu, namun dengan tangkas kau menolak tawaranku. Aku menawarkan diri bukan berarti aku akan mengkhianati dia sebagai temanku. Namun, aku iba denganmu yang harus menerima seluruh beban ini. Dulu memang aku pernah menaruh hati padamu, namun tak sampai niatku terkabul, kau telah menerima pinangannya terlebih dahulu.
Sakit yang diidap suamimu semakin hari semakin tak terlihat perkembangan sehatnya sedikit pun tidak. Dokter berkata kemungkinan sehat untuk suamimu sangatlah kecil. Seakan-akan dunia gempar dalam benakmu, semenjak itu nafsu makanmu semakin berkurang. Tubuhmu yang kurus kini mulai meringkih. Kulit yang tarik itu mulai kisut dimakan oleh kesusahan yang kau alami. Apalagi kini kau harus pula memikirkan biaya pengobatan suamimu dan membiayai pendidikan anak-anakmu yang makin hari makin membutuhkan biaya yang besar.
Suatu kali kulihat dirimu sedang menangis di tengah-tengah riuhnya jangkrik dan sepinya sepertiga malam. Di dekat pembaringan suamimu kau menghadap ke sajadah, menengadahkan tangan sembari memanjatkan doa pada kekasih yang tak pernah pilih kasih. Tempat penolong dari segala penolong. Hanya Dia tempatmu mengadu dalam rangkaian tantangan hidup yang makin tak menentu.
Seminggu dari malam itu, suamimu mulai siuman. Tanda-tanda kesehatan seperti semula mulai berkembang. Entah keajaiban dari mana, hari itu suamimu oleh dokter dinyatakan berangsur-angsur membaik. Mata kuyumu segera meretas mengucapkan syukur yang tak bisa diukur atas perkembangan kesehatan suamimu.
Kesehatan itu begitu mahal, barulah tersadar kesehatan itu mahal ketika sudah merasakan kesakitan yang berkepanjangan. Sampai-sampai menghabiskan harta ludes untuk berobat.
Hari ini suamimu diperbolehkan pulang ke rumah, dengan satu syarat agar suamimu sering dibawa kontrol ke rumah sakit yang menangani suamimu. Rencana penuh rencana, namun yang menentukan adalah sang Maha dari segalanya. Di dekat suamimu tiba-tiba kau pucat, raut wajah terlihat sangat kurang darah, melemah, lalu kau terkapar di lantai rumah sakit ini.
Para perawat sama-sama mengangkatmu menuju ruang unit gawat darurat. Dokter berkata bahwa kau hanya kecapekan saja. Barulah ketika siuman kau diperbolehkan untuk pulang bersama suamimu.
Rumah yang berhari-hari kau tinggalkan, serasa makhluk mati, rumah tanpa penghuni. Kini kehadiranmu dan suamimu rumah itu serasa hidup kembali. Meskipun tak sepenuhnya suamimu sehat seperti sediakala, setidaknya mendingan.
Kini kau masih tetap mencoba menggantikan peran kepala keluarga. Segala bentuk kebutuhan yang berhubungan dengan keuangan, sama-sama disematkan di pundakmu. Kini kau mulai terbiasa lakukan itu. Hingga suatu hari kau jatuh sakit, tubuhmu panas dingin dan panas dingin yang kau rasakan bukanlah penyakit yang biasa.
Malam itu kau dirujuk ke rumah sakit dekat dari rumahmu, di sana kau tak sadarkan diri untuk beberapa kali, lalu kau berkata pada suamimu, “Waktuku sudah tak lama lagi, didiklah anak-anakku. Jika kita memang berjodoh, aku yakin kita akan bertemu dilain waktu, di dunia lain.” Lailahailallah. Mata itu mulai tertutup, terkatup dan tak lagi terbuka untuk selama-lamanya.
Cerpen ini pernah dikirim ke grup kepenulisan.
0 Comments