Akhir-akhir ini fenomena penjustifikasian atas kebenaran diri
sendiri terjadi marak-maraknya. Seakan merasakan “Hanya dirinyalah yang paling
baik dan selainnya tidak”. Dan jika saya mencoba mengverifikasikannya semacam
tranding topik bagi dunia global. Fenomena penjustifikasian ini seringkali kita
jumpai di media massa, baik itu di website, instagram, twitter, facebook,
whatshapp, dan aplikasi lainnya.
Namun jika kita mencoba menilik sejarah masa lalu, sebenarnya sikap
penjustifikasian terhadap kebenaran yang dimiliki sudah terjadi semenjak masa yang
silam itu. Jadi tak mengherankan jikalau fenomena penjustifikasi kebenaran dirinya
sendiri terjadi pada masa ini. Bukanlah barang yang tabu lagi dalam sejarah
kehidupan manusia, tapi yang membedakan penjustifikasian dulu dengan sekarang
terletak pada medianya. Jika dahulu penjustifikasian melalui mulut ke mulut
atau melalui karya, tapi zaman sekarang penjustifikasian kebenaran atas dirinya
dilakukan melalui media masa.
Media masa di zaman sekarang mendapati ruang yang sangat strategis
dan bahkan telah dijadikan kebutuhan pokok bagi sebagian masyarakat. Tentu
dengan membludaknya perkembangan teknologi informasi ini dapat memudahkan
informasi sampai kepada masyarakat khususnya. Sekali geser, pesan yang akan disampaikan
telah sampai di tempat tujuan. Berawal dari sinilah penjustifikasian seseorang
terhadap kebenaran dirinya sendiri mudah tersebar di mana-mana. Dan tak jarang
dari sebagian kita terprovokasi dan terpengaruhinya.
Berbicara perihal penjustifikasian, saya jadi teringat dengan
kejadian satu tahun yang lalu (tanggal, hari, bulannya saya lupa). Kejadian ini
berlangsung di salah satu grup whatshapp. Awal mulanya ada salah satu member
mengirimkan video tentang beberapa ajaran tarekat dalam melakukan riyadoh
menggunakan tarian sembari diiringi pembacaan sholawat. Kemudian member ini
mengatakan bahwa yang dilakukan oleh video ini adalah salah. Dan bahkan ia
mengatakan itu bukan dari islam sendiri. Dan ia melanjutkan chat-annya,
Ia juga mengatakan bahwa tasawuf itu sebenarnya sesat, di masa Rasul itu tidak
ada, pelaku tasawuf itu sesat, kurang lebih member itu mengatakan demikian.
Saya sebagai anak jurusan tasawuf tentu merasa tidak terima dengan
penjustifikasian member itu. Saya terus kejar chat dia hingga dia tak
mampu menjawab. Saya tanyakan berulang-ulang, “Apakah kakak sudah membaca
karya-karya para pelaku tasawuf itu? Apakah kakak sudah mengkaji pemikirannya?”
“Apakah kita pantas menjustifikasi seseorang itu kafir atau sesat, padahal kita
sendiri belum mengerti tentang mereka sepenuhnya. Kurang lebih begitulah yang
saya utarakan waktu itu. Member itu terdiam tak menjawab dan chat saya hanya di
read saja. Nyesek rasanya.
Dari kejadian itu saya semakin berpikir dan cukup mengamini
anggapan Al-Ghazali. Dalam buku Mohammad Yasir Nasution Al-Ghazali sendiri
pernah menyebutkan bahwa menentang suatu aliran tanpa memahaminya dengan baik
adalah bantahan yang tidak berdasar. Nah, begitulah yang dilakukan Al-Ghazali
dalam mencari kelemahan filsafat waktu itu. Ya, seperti perihal
penjustifikasian ini, saya kira seseorang tidak dapat menjustifikasi, menjudge,
atau memukul rata kebenaran dan kesalahan orang lain. Kita tidak bisa
menjustifikasi pemikiran dan pendapat orang lain sebelum kita memahami seluk
beluknya sepenuhnya.
Terkadang dan mungkin seringkali kita mudah menyimpulkan bahwa
orang lain itu salah dan kita sendiri merasa yang paling benar. Apakah benar
seperti ini? Atau jangan-jangan kita yang salah. Saya kira kita sebaiknya tidak
boleh menjustifikasi kebenaran kita sendiri, apalagi merasa yang paling benar.
Saya kira ketika kita merasa diri yang paling benar, maka yang terjadi adalah
kita tidak membenarkan yang lainnya.
0 Comments