Lila tak mengerti mengapa tiba-tiba tubuhnya berada di sebuah
sampan ini. Semalam ia diam di kamar memandangi foto kenangan pernikahannya
satu tahun lalu. Saat itu yang paling ingat dalam benaknya sosok berpakaian
hitam menyelinap ke dalam kamarnya, lalu membopongnya keluar dan setelah itu ia
tak ingat apa-apa.
Lila tak benar-benar yakin, apakah ini benar-benar penculikan, atau
ini hanyalah halusinasi dirinya. Ia cubit tangannya sendiri, ia rasakan ini benar-benar
terjadi. Sendirian di atas sampan pencari ikan.
Tak jelas mengapa dirinya dihanyutkan dengan sampan ini. Kini
sampan itu terus melaju bersama Lila yang sedang duduk tersimpuh memandang
danau luas yang dikelilingi hutan bebas. Kini
ia sendirian, tanpa sosok manusia yang membawanya di sampan ini, tanpa
siapa pun.
Lalu siapa yang membawanya ke sampan ini? Mengapa ia ditinggal
begitu saja tanpa sedikit pun pertanggungjawaban.
Seandainya Mas Danu suaminya masih ada, tentu tidak akan ada orang
yang berani membawanya ke tempat yang tidak pernah ia tahu. Sudah setahun
lamanya, Lila ditinggal Mas Danu berjumpa dengan pemilik sejatinya. Waktu itu,
seperti diputar ulang layaknya komedi putar. Terlihat jelas, saat detik-detik
itu datang, dia berdua sedang menghabiskan malam sebagai pengantin baru sembari
mengendarai mobil. Tiba-tiba sebuah truk tanpa rem menabraknya dari belakang.
Lila dan Mas Danu sama-sama terluka, namun takdir berkehendak lain, Mas Danu
telah menghadap kekasih abadi.
Ada rasa nyeri di dada, mengingat peristiwa yang telah berlalu,
setahun lalu.
Kini laju sampan itu terus saja melaju, mengikuti arus sungai,
seakan-akan tak mau berhenti seperti masa lalu yang selalu ia melaju, tak
pernah berhenti. Hingga sampai detik ini ia selalu menolak pinangan orang lain.
Ada rasa nyeri di dadanya, yang tak bisa ia obati dengan hanya sekadar mencari
pengganti sosok Mas Danu yang ia cintai.
Sebelum peristiwa ini, ada sosok laki-laki yang meminangnya, dia
hampir mirip dengan wajah Mas Danu, namun Lila tetap saja tak pernah
tergoyahkan dengan pendiriannya.
“Biarlah waktu yang akan segera menjawabnya,” begitulah yang
seringkali ia lontarkan pada setiap laki-laki yang meminangnya.
“Tak semudah itu untuk melupakan sosok manusia yang telah pernah
singgah di dalam hati ,” ucapnya suatu ketika.
Tak jarang Lila berlama-lama melihat foto album pernikahannya
dengan Mas Danu satu tahun yang lalu. Bahkan saban pagi, yang ia lihat pertama kali bangun dari
tidur adalah foto pernikahannya. Sorot
matanya akan berkaca-kaca, menanggung rasa yang tak bisa ia ungkapkan dengan
kata-kata.
“Bokyo, nikah dug, ojok terus-terusan, lah piye uripmu kuwi,” ucap
Bok tetangga sebelah yang sangat kental dengan Jawanya itu.
“Kapan-kapan Bok, kalau sudah ketemu jodohnya,” tawa Lila gigi putihnya
terlihat rapi.
Semenjak Mas Danu kembali kepada yang empunya kehidupan, banyak
pinangan datang kepadanya. Berkali-kali datang, dan semuanya ia tolak dengan
perasaan legowo. Bukan berarti ia tak ingin menikah, namun ia belum siap
untuk mencari pengganti sosok manusia yang telah mengisi separuh hidupnya.
Sosok yang telah mengakar dan terpatri dalam hidupnya. Setahun telah berlalu
tapi rasa yang terpendam dalam dada Lila tetap saja terasa sesak dan rasanya
ingin menghancurkan dirinya, lalu lebur dalam ketiadaan.
Laju sampan semakin deras, bersamaan dengan arus air yang semakin
deras, karena di depan sana terdapat air terjun dengan ketinggian tak terbatas.
Sampan itu terus melaju seiring dengan derasnya laju. Di titik air terjun,
sampan itu jatuh, dan menghilang bersama Lila dan sampannya.
0 Comments