Sumber: jatimtimes.com |
Beberapa waktu yang lalu saya sempat pergi ke pasar Buah yang terletak tidak terlalu jauh dari rumah saya di kampung. Pasar Buah merupakan salah satu pasar dalam satu kecamatan dan memang satu-satunya pasar di rumah saya, tepatnya di desa Ranuyoso, kecamatan Ranuyoso, kabupaten Lumajang. Pasar ini basis pemasarannya masih bersifat tradisional maksudnya tidak menggunakan sistem semacam pasar modern—semacam mol besar.
Di sana sebagaimana sesuai dengan namanya “Pasar Buah” dijadikan
sebagai tempat jual beli buah antara masyarakat dengan para pedagang. Buah yang
diperjual-belikan beragam, mulai dari buah kelapa, pisang, alpukat, dan
seterusnya, namun di pasar ini sejauh analisis saya lebih dominan kelapa (baik
muda dan tua) dan pisang. Umumnya buah-buah yang dijual oleh masyarakat berasal
dari kebun sendiri, lalu dijual di pasar ini kepada para pedagang.
Pasar ini bukan hanya menyediakan jual beli buah akan tetapi juga
disediakan di dalam pasar barang-barang kebutuhan sehari-hari.Sejauh mata saya
memandang ada beberapa hal yang menurut saya perlu saya angkat dalam tulisan
ini.
Mungkin seperti biasanya pasar ini tidak berubah meski saya sudah
di kota hampir dua tahun. Baik dari segi infrastruktur maupun sistem pengolahan
pasarnya. Namun, ada beberapa yang membikin saya cukup risih dengan keadaan di
pasar ini yakni proses jual beli buah dari masyarakat kepada pedagang yang
dilakukan di pinggir jalan raya. Dan sebagaimana fenomena-fenomena yang
terjadi, tak jarang proses jual beli ini membuat kemacetan di jalan.
Saya sendiri cukup memaklumi dan positif thinking mengingat
lahan yang disediakan untuk pasar relatif sedikit (tidak luas) sedangkan
penjual buah (adalah masayarakat) mayoritas berasal dari satu kecamatan di
Ranuyoso. Sehingga—yang seharusnya proses jual beli dilakukan di dalam pasar,
malah dilakukan di luar pasar, tepatnya di pinggir jalan raya. Tapi fenomena
ini bukanlah perihal yang asing, sudah bertahun-tahun bahkan semenjak saya
belum terlahir ke dunia kata bapak saya sudah seperti itu. Lalu yang menjadi
pertanyaan mengapa tidak ada inisiatif untuk mencegah kemacetan di jalan raya
ini? Mungkinkah selama-lamanya?
Fenomena kemacetan ini salah satunya yang tidak pernah berubah.
Kemudian ada satu hal lagi yang membikin saya agak terhenyak, kaget. Ketika
saya akan pulang dari pasar, saya melintasi sebuah jembatan sebagai jalur utama
pulang ke rumah. Saya tak pernah menyangka sebelumnya di bawah jembatan ini
kini beralih fungsinya sebagai tempat pembuangan sampah dari pasar. Berbagai
macam sampah di tumpuk di sana, sehingga baunya cukup menyengat hidung.
Sampah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi dan sebagainya; kotoran seperti daun kertas. Saya kira meski tidak mengacu ke dalam pengertian KBBI kita sudah mengerti jika sampah adalah barang yang tidak berguna dalam kehidupan kita. Baik sampah rumah tangga maupun sampah industri.
Seingat saya, sewaktu masih sering ke pasar dulu, wajah jembatan
ini aman-aman saja, tiada sampah sedikit pun di sana, namun seiring berjalannya
waktu fungsi jembatan sudah dialih fungsikan. Saya sendiri sempat berpikir, apa
bedanya dengan kota besar? (yang memang lahan pembuangan sampah sangat minim). Membuang
sampah kok di jembatan? Ya, mungkin jika musim kemarau banjir tidak ada
(apalagi daerah pegunungan) namun ketika musim penghujan datang, banjir datang
melintasi jembatan ini. Nah, bagaimana air akan melewati kolong jembatan jika
sampah-sampah itu menutupinya?
Mungkin di sini memang perlu adanya kesadaran, yang memang harus
dimulai dari kita sendiri untuk menanggulangi permasalahan di dalam pasar
sendiri. Seperti disebutkan di atas tentang kemacetan dan membuang sampah di
jembatan.
1 Comments