“Karena itu tidak ada kejahatan yang absolut di dunia ini; kejahatan
yang selalu relatif. Ketahuilah itu....”
Cuplikan syair di atas merupakan karya Jalaluddin ar-Rumi seorang
mistikus Islam asal Persia yang saya kutip dalam buku karangan Bayraktar Bayrakli.
Rumi juga tergolong sebagai salah satu penyair yang karyanya telah dikenal dan
banyak mempengaruhi lahirnya penyair setelahnya.
Ok, lanjut.
Dalam syair di atas Rumi terlihat beranggapan “tidak adanya
kejahatan yang absolut, sebab Tuhan tidaklah menciptakan kejahatan.” Di sini terlihat kejahatan bagi Rumi bersifat relatif bukan absolut. Bayraktar
Bayrakli dalam bukunya sempat menuturkan bahwa Rumi menekankan suatu
perbuatan dapat dipandang jahat menurut opini seseorang.
Mengenai hal itu Rumi sempat mengekspresikan dalam salah satu sairnya,
“Seseorang dalam matamu bagaikan ular, ia adalah gambar (yang
indah) dalam mata orang lain. Karena dalam matamu ada khayalan wujudnya seorang
kafir, sementara dalam mata temannya muncul khayalan wujud seorang mukmin.”(Bayraktar Bayrakli, 2000, 61)
Rumi di sini terlihat menjelaskan akan kerelatifan kejahatan.
Baginya kejahatan memiliki sifat berubah-ubah tergantung kondisi waktu dan
tempat dan tak jarang berubah menjadi baik. Rumi juga sempat menambahkan,
terkadang orang melihat kebajikan sebagai kebaikan dan begitu pula sebaliknya.
Menanggapi apa yang dibahas oleh Rumi ini, saya kira sedikit banyak
ada benarnya. Jika kita coba benturkan dengan realitas yang ada di lingkungan
sekitar kita, tak jarang kita melihat dan menyaksiakan adegan kejahatan dan
kebaikan yang jungkir-balik alias dibolak balik-kejahatan jadi kebaikan
dan sebaliknya, dan bahkan tidak bisa dibedakan. Semisal dalam masyarakat sekarang, jika dahulu memberi suap dan menyuap bagi segenap orang adalah kejahatan, namun pada zaman sekarang orang-orang kebanyakan menganggap hal ini adalah hal yang biasa dan tak jarang saya mendengar sendiri hal ini adalah baik.
Kemudian menanggapi persoalan tentang kejahatan yang sifatnya
berubah tergantung kondisi waktu dan tempat, saya kira hal itu cukup benar
dirasa. Kejahatan di masa dahulu, belum tentu ditolak di masa sekarang dan
bahkan dipakai. Begitupula dengan tempat, penilaian kejahatan di daerah yang
satu tentu berbeda dengan yang lainnya—namun perlu dicatat juga ada beberapa
penilaian yang memang sifatnya konstan.
Ketika membahas tentang kejahatan dan kebaikan, saya jadi teringat
dengan pembahasan beberapa bulan yang lalu—sepertinya sekitar satu tahun yang
lalu—mengenai persoalan baik dan buruk. Entah nyambung apa gak. Begini dalam
pembahasan baik dan buruk saya kira ada kemiripan dengan pembahasan kejahatan
dan kebaikan.
Saya ingat betul mengenai baik dan buruk dalam anggapan setiap
orang berbeda tergantung setiap individu yang memandangnya. Nah, menurutku
sepertinya ada kemiripan antara dua pembahasan kali ini. Atau jangan-jangan keburukan
dan kejahatan adalah sama. Tapi jika sama mengapa berbeda?
Jujur, saya sendiri seringkali dibuat pusing untuk membedakan
antara keduanya. Terkadang apa yang saya lihat baik, ternyata tidak seperti
yang saya kira. Dan begitu pula ketika saya melihat sesuatu itu buruk, ternyata
menyimpan kebaikan yang tak terhingga. Dan bahkan saya sendiri berhenti dalam
suatu kesimpulan akhir "sepertinya baik, buruk, jahat, dan seterusnya itu memang
harus ada di dunia ini."
***
Mungkin ini hanya sekilas, mengenai ulasan buku yang saya baca
barusan, sekaligus saya integrasikan dengan tanggapan-tanggapan saya pribadi.
Barangkali ada sanggahan, saran, dan kritikan, terima kasih.
4 Comments
Bener sih kejahatan kabaikan. Kadang membuat kita pusing akanya.
Seperti pribahasa.
"di mana bumi di pijak di situ langit di jujung"
Aku memanhimanya seperti pribahasa barusan...