Murtadha Muthahhari, siapakah dia? Saya kira tak syak lagi dengan
salah satu tokoh asal Iran ini. Salah satu tokoh yang syahid dan ia juga sangat
produktif loh dalam menulis. Banyak karya yang telah ia hasilkan, bahkan
karya-karyanya banyak yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, tak
terkecuali bahasa Indonesia. Ia dilahirkan sekitar tahun 1919 di Teheran, Iran.
Salah satu karyanya yang sedang saya baca hari ini adalah “Filsafat
Perempuan dalam Islam.” Memang, saya sendiri belum menamatkan buku ini, namun
ada beberapa hal yang saya pahami terkait satu bab usai saya baca.
Muthahhari dalam buku ini membahas persoalan feminisme. Apa itu
feminisme? Yakni sebuah aliran atau paham yang mencoba mendobrak ketidakadilan
pada perempuan—mendongkrak sistem patriarki. Aliran ini muncul di barat sekitar
abad 19 sebagai awal kali mendobrak ketidakadilan terhadap perempuan.
Para pejuang feminisme berusaha menyuarakan titah kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Di mana kiprah perempuan semenjak dulu selalu dianak
tirikan, tidak boleh ikut andil dalam kiprah masyarakat. Bahkan perempuan
dikucilkan dan seterusnya. Padahal jika melihat dari segi eksistensi sebenarnya
laki-laki dan perempuan sama, sama-sama sebagai khalifah di bumi. Dengan
begitulah, maka muncullah berbagai macam aliran feminisme, seperti feminisme
radikal, feminisme liberal, dan masih banyak lagi.
Setelah ini pembahasan persoalan gender tidak hanya berhenti di
situ. Sekitar abad 20 akhir pembahasan gender menjadi pilihan para penulis
feminis seperti ‘Aisyah Taymunya, Zainab Fawwaz dari Libanon, RA. Kartini, dan
seterusnya. Hal ini menambah potensi untuk dikenal oleh dunia.
Murtadha Muthahhari salah satunya yang juga turut ikut andil
menyemarakkanya dengan salah satu karyanya ini. Namun, pembahasan feminisme
Murthadha cukup berbeda dengan pembahasan feminisme yang didengung-dengungkan
barat. Ia membahasnya dengan tidak terlepas dari Alquran dan hadis. Seperti di
dalam bab 1 ini, Murtadha Muthahhari membahas kisah Rasulullah.
Ketika itu Ali bin Abi Thalib meminta izin pada Rasul untuk meminang
Fatimah Az-Zahra (putra Rasul). Menanggapi hal ini, Rasulullah tidaklah
langsung menerima atau menolak pinangan Ali, tapi beliau masih meminta
keputusan Fatimah. Akhirnya Fatimah menyetujui atas pinangan Ali. Nah, di
sinilah yang diajarkan oleh Rasulullah tentang kebebasan perempuan dalam
menentukan calon pendampingnya. Tidak seperti kebiasaan orang Arab Jahiliyah
dulu sang ayah lah yang menentukan calon untuk anak perempuannya. Tapi perlu
digaris bawahi pula, terkadang Ayah juga boleh menentukan calon suami untuk
anaknya dengan harapan agar anaknya mendapat suami yang pas untuk anak
perempuannya.
***
Dalam kata pengantar “Filsafat Perempuan Islam” ini sempat
disebutkan bahwa hadirnya feminisme bukan berarti sepenuhnya positif, namun
adapula negatifnya. Semisal berhentinya tanggung jawab suami dalam mencari
nafkah karena perempuan dan laki-laki sama.
Tapi bagi saya pribadi, paham feminisme sangatlah bagus dilain sisi
dan sebagain juga tidak. Bagusnya paham ini adalah perempuan dan laki-laki di
mata publik semakin sama. Perempuan tidak lagi dipandang sebelah mata. Semisal
dalam bidang pendidikan perempuan sudah dapat mengenyamnya setara dengan
laki-laki. Perempuan juga bisa ikut andil dalam memimpin suatu pemerintahan,
seperti halnya Megawati pernah menjabat menjadi presiden RI, Khofifah (sekarang
menjabat sebagai gubernur Provinsi), Risma (menjabat sebagai Wali kota
Surabaya), dan lain sebagainya.
Dan di sinilah kita perlu mengkaji ulang, meski feminisme
menyuarakan suara kebebesan bagi perempuan, kita tak semerta-merta harus
memangkas habis dan mengambilnya, tapi ambillah yang bagus, dan buanglah yang
tidak.
***
2 Comments