Sudah mafhum barangkali bagi sebagian kalangan terkait buku (kitab)
Manthiqu’t-Thair atau Musyawarah Burung (The Conference Birds) karya
seorang penyair sekaligus sufi masyhur Fariduddin Attar. Attar dilahirkan
pada tahun 1136 M di Nishapur, Persia. Sedangkan terkait kematiannya masih belum ditemukan kejelasannya. Ia memiliki nama pena "Attar" berarti ahli
kimia atau penebar wewangian—mengingat ia menjalankan usaha farmasi di
kotanya.(Mojdeh Bayat & Muhammad Ali Jamnia, 2015, 94).
Attar merupakan salah satu tokoh sufi yang unik dalam cara
menyampaikan ajarannya. Mengapa begitu? Ia menggunakan gaya bertutur
menggunakan kisah-kisah yang mudah dipahami Salah satunya dalam karya ini, di
dalamnya Attar sangatlah lihai menyelipkan kisah-kisah para Nabi seperti Yaqub,
Yusuf, Ibrahim, dan Isa, bahkan ada beberapa tokoh sufi mashur lainnya seperti
Robi’ah, Ibrahim bin Adham, al-Hallâj dan Abu Yazid al-Bisthami yang
dikolaborasikan dengan beberapa percakapan sekawanan burung. Tentu tak lupa
pula Attar juga menyelipkan kisah-kisah penguasa di zamannya seperti Sultan
Mahmud.
Tak salah jika Attar dikatakan sebagai seorang figur yang sangat
diperhitungkan dalam menyampaikan ajaran sufi. Karena dalam menyampaikan
ajarannya Ia serasa membawa angin segar untuk memudahkan pembaca untuk
memahami ajarannya.
Karya Attar dinilai sebagai sebuah tulisan yang mampu mempengaruhi
karya penyair-penyair setelahnya, termasuk Jalaluddin Rumi—sosok penyair mistik
terkenal---yang karyanya banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Rumi
sendiri pernah berucap—seperti dikatakan dalam buku Telaga Cinta Para Sufi
Agung—“Semua yang telah aku katakan mengenai kebenaran tak lain kupelajari dari
Attar.” “Attar melintasi ketujuh kota Cinta, dan kami hanya mencapai sudut
salah satu jalannya.” Rumi berucap pula “Akulah guru Rum, yang kata-katanya
semanis gula. Namun ketika berbicara, aku hanyalah abdi Attar.” Dari ungkapan
Rumi ini, sungguh sangat terlihat bahwa Attar merupakan salah satu penyair
cukup berpengaruh bagi Rumi. Seperti Rumi, Attar juga membahas persoalan cinta
di dalam karyanya ini.
Puisi yang dihadirkan dalam karangan ini bukanlah sekadar puisi
biasa, namun puisi berisikan tentang perjalanan spiritual yang digambarkan
melalui kisah percakapan burung. Dan inilah yang bagi saya pribadi sangat
menarik.
Awal kali Attar mengisahkan perkumpulan burung dari berbagai jenis
burung yang menginginkan pertemuan dengan raja mereka. Kemudian hadirlah
burung Hudhud sebagai sosok bijak di tengah-tengah mereka. Hudhud
mengatakan bahwa raja yang mereka cari adalah Simurgh. Tempat tinggal Simurgh
berada di balik gunung Kaf, letaknya sangat jauh dan tentunya perlu perjuangan
dan pastinya tantangan demi tantangan akan terus menghadang setiap pejalan yang
akan menuju tempat itu.
Setelah itu mereka bersepakat untuk menunjuk salah satu dari mereka
untuk menjadi penunjuk jalan (membimbing). Maka segeralah mereka melakukan
undian dan jatuhlah undian itu pada burung Hudhud. Ia pun segera menyetujui
perihal itu.
Sebelum keberangkatan para kawanan burung lainnya sama-sama mengutarakan
keluh kesahnya pada burung Hudhud. Hudhud pun menasehatinya layaknya seorang
guru. Bermacam alasan yang diutarakan burung-burung lainnya kepada Hudhud.
Pada momen itu saya merasa Attar sangat lihai dalam menjadikan
karakter Hudhud yang arif, tegas, dan sabar. Jawaban-jawaban Hudhud cukup
logis. Attar di sini juga menyelipkan analog-analog atau kisah-kisah—seperti
mencoba menyakinkan burung yang mengutarakan keluh kesahnya pada Hudhud.
Akhirnya mereka putuskan
untuk segera berangkat menuju raja burung dari segala burung itu. Lembah demi
lembah mereka lalui, semakin bertambah lembah semakin serius tantangannya. Lagi-lagi
Hudhud tak henti-hentinya memotivasi para burung untuk terus semangat.
Dalam perjalanan pengembaraannya rombongan burung melewati tujuh
lembah. Setiap bertambah lembah maka tantangan-tantangan bagi mereka tambah
besar. Tak jarang dalam perjalanan, ribuan burung itu mati; karena kelelahan,
kehausan, jatuh, dimakan macan, dan seterusnya.
Ketujuh lembah itu adalah
lembah pencarian, lembah cinta, lembah keinsafan, lembah pelepasan, lembah
keesaaan, lembah keheranan dan kebingungan, dan terakhir adalah lembah
keterampasan dan kematian. Lembah demi lembah mereka lalui, rintangan demi
rintangan mereka lewati. Setiap tingkatan demi tingkatan mereka lalui, dari
ribuan kalangan bangsa burung yang bertahan sampai di muka istana Raja Simurgh
hanya berjumlah tigapuluh burung saja selebihnya telah raib sebelum sampai.
Sesampai di depan gerbang istana, mereka bertemu dengan penjaga
gerbang. Si penjaga gerbang menyambut mereka dengan pelayanan buruk sekali—mengingat mereka sudah
melewati berbagai macam tantangan, maka mereka sudah terbiasa menghadapi
semacam ini. Selang beberapa waktu pelayan raja keluar dan mempersilahkan
mereka masuk. Mereka keheranan, mereka sadar bahwa Simurgh (30 puluh burung)
yang mereka cari adalah mereka sendiri.
“... mereka pun menyadari bahwa mereka dan sang Simurgh itu wujud
yang satu dan yang itu juga...”
***
Saya rasa karya ini sangatlah menarik bagi pembacanya tak kalah
menarik dengan karya Jalaluddin Rumi Fihi ma Fihi-nya. Mungkin cukup itu saja,
selebihnya bisa baca buku karangan Fariduddin Attar.
Mungkin itu saja.
0 Comments