“Begitu jelas dan sangat
jelas, sehari tanpa menulis lalu menulis rasanya seperti mengulang belajar
menulis seperti pemula.”
Mungkin itulah hikmah yang saya rasakan beberapa hari ini. Saya
sangat mengamini pendapat-pendapat para penulis baik di dunia online
maupun offline yang saya kenal, sempat menyatakan “Jangan pernah
berhenti menulis”. Beberapa hari ini saya merasa stagnan dalam menulis dan
bahkan boleh dibilang malas untuk merangkai kata-kata. Lalu kali ini saya
mencoba lagi mengejawantahkan kata-kata dalam selembar dokumen di layar leptop.
Anehnya kata-kata yang biasanya lahir tanpa diundang itu malah mulai malu-malu
untuk menampakkan batang hidungnya.
Betapa bingungnya saya ketika mendapati hal seperti ini. Coba
bayangkan betapa lamanya saya belajar menulis, namun hingga detik ini
tulisan-tulisan tak berbobot dan tanpa esensilah yang hadir. Tak jarang ketika
saya menulis di blog kritik dan saran dari beberapa pembaca meminta saya untuk
menghadirkan esensi yang menggelitik pembaca dan bukan hanya sekedar kulitnya
saja dalam pembahasannya.
Kini saya merasa sangat mengerti, sangat-sangat mengerti bagaimana
pentingnya mempertahankan keistikamahan dalam menulis. Kemudian saya malah
berpikir bahwa bisa karena biasa, begitupula dengan menulis. Bagaimana saya
akan mudah mengejawantahkan kata-kata sedangkan untuk mempertahankan
keistikamahan dalam menulis pun masih dirasa sulit. Menulis masih dianggap
beban bukan sebuah kebutuhan.
Beberapa penulis yang pernah saya temui baik online maupun offline
hampir semua mengatakan bahwa di dalam menulis mereka tak langsung bagus
tulisannya, tak langsung namanya terpajang di koran berderet, atau meraih juara
nobel, tapi mereka masih melalui proses yang sangat panjang. Jatuh bangun sudah
biasa, ocehan dan cemohan sudah makanan keseharian. Naskah tertolak
berkali-kali bahkan banyak kali. Namun bagaimana dengan kita, khususnya saya?
Sekali gagal malah tak semangat menulis. Padahal kegagalan adalah jalan untuk
menuju kesuksesan. Bukankah kesuksesan tidak dikatakan sukses, jika tidak ada
kegagalan. Karena keduanya saling mengisi sebagai pembanding. Coba jika kita
memahami hikmah semisal karena ditolaknya tulisan, mungkin kita akan memacu
semangat lebih kerasa lagi dari biasanya.
Selain itu, terkadang saya pribadi merasa minder dengan tulisan
sendiri. Apalagi ketika mengalami trauma akibat pembulian berlebihan terhadap
tulisan. Penulis pemula biasanya merasakan hal ini, hatinya seperti gelas pecah
berkeping-keping yang tak bisa disusun kembali. Namun jika kita mencoba terbuka
dalam memahami hal ini, pasti kita akan merasa bahwa kita sedang berproses,
sedang berjuang menuju kebaikan. Benar salah sudah biasa dalam penulisan.
Apakah karena hanya ditegur, dikritik, lalu kita malas menulis, tentu tidak
begitu, bukan?
“Tidak apa-apa menulis meski itu jelek, daripada tidak menulis”
Begitu terngiang-ngiang ucapan seorang penulis cerpen yang sempat
saya kenal di media sosial. Kini saya mulai menyadari makna pernyataan penulis
itu. Menulis merupakan aktivitas terapan dan bukan hanya sekadar teori semata.
Banyak teori namun sedikit praktik, tentu juga kurang ada gunanya. Menulis
diiringi dengan teorilah yang cukup baik.
Mungkin kurang pantas jika saya mengejawantahkan coretan-coretan
saya di sini, namun saya rasa kebebasan berekspresi dalam menulis juga bisa
dikatakan kekreatifan setiap penulis untuk berbagi pengalaman melalui tulisan.
Ya, barangkali memang kurang pantas atau bisa dibilang semacam curhatan semata,
tapi ingat menulis itu tidak hanya terbatas pada hal yang formal saja tapi
sesuatu yang bagi penulis patut untuk ditulis.
“Bacalah dan tulisalah” kurang lebih begitulah redaksinya.
Rata-rata semua orang yang suka menulis dan penulis yang pernah saya temui juga
mengatakan begitu. Menulis dan membaca bagaikan cahaya dan sumber cahaya yang
harus ada.
0 Comments