Sumber Gambar: www.radioidola.com |
Media sosial begitulah sebutannya. Sebuah alat yang dapat membantu
manusia dalam berkomunikasi. Barangkali jika ditilik dalam sejarah perkembangannya, kira-kira sangatlah drastis. Mulai dari kemunculan telepon
pertama kali dalam bentuk jadul--yang tidak bisa dibawa ke mana-mana, hingga
saat ini bernada sebaliknya. Bahkan telepon zaman kita-kita ini sudah
dilengkapi berbagai fitur yang sangat menarik, canggih, dan memudahkan manusia
tentunya. Sekali sentuh saja kita dapat melihat perkembangan dunia secara
holistik.
Berbicara tentang hal ini, saya kira sangatlah menarik, bagaimana awal
mulanya hanya dicetak berpotensi untuk
memudahkan manusia, malah yang terjadi akhir-akhir ini adalah sebaliknya. Tak
jarang nada provokatif, berujung ujaran kebencian, adu domba, memfitnah, dan
sejenisnya bersarang mewarnai media—khususnya media sosial.
Ya, memang disadari ataupun tidak, yang patut dipertanyakan
bukanlah medianya, namun penggunanya. Bagaimana pengguna seharusnya
mengendalikannya dengan baik, mematuhinya, menjaganya, layaknya seperti
diperintahkan oleh agama. Namun yang seringkali terjadi adalah sebaliknya. Tak
jarang masyarakat kita khususnya Indonesia terprovokasi akibat media sosial. Padahal
layaknya pisau bermata dua, tergantung pada penggunanya.
Tak jarang saya merasa heran ketika mendapati sebagian orang
menerima informasi dari media lantas mengiyakan dan tidak menguji sumber
kefalidannya. Aneh bin ganjil begitulah kata-kata paling pas untuk menyebutnya.
Orang-orang biasa menyebutnya dengan term hoaks atau berita bohong. Saya kira
bukan suatu hal yang aneh lagi, namun pada tataran realitanya—meski sudah
diproklamirkan tentang pengendalian hoaks di seminar-seminar, maupun di tempat
lainnya—masyarakat kita masih saja menerima tanpa mengkritisi.
Seperti hari ini saya mendapati di salah satu grup whatshapp,
membagikan tautan serta bradcast bernada cukup ya begitulah
(semacam provokatif). Kemudian saya coba untuk memasuki web link yang
dicantumkan. Ketika membaca isi webnya ternyata sangat berbeda dengan broadcast
yang dibagikan dan fatalnya ternyata informasi ini dilansir pada tanggal 17
September 2014. Memang ini berita benar, namun sudah basi dan tentunya sudah
selesai. Dari sini saya mulai memandang bahwa tolak berita ini hoaks atau
tidak, bukan hanya dilihat dari manakah sumbernya, bahasanya, namun tanggal
juga berpengaruh.
Itu salah satu fenomena hari ini, dan masih banyak lagi kejadian
hoaks di sekeliling kita. Seperti yang dilansir dari kompas.com hari ini, pada
tanggal 19 Desember 2018 yang ditulis oleh Mela Arnani menyebutkan bahwa selama
tahun 2018 ini terdapat 10 hoaks amat berpengaruh di kalangan masyarakat. (Lihat:
https://nasional.kompas.com/read/2018/12/19/15131571/10-hoaks-sepanjang-2018-yang-paling-berdampak-di-masyarakat#utm_source=insider&utm_medium=web_push&utm_campaign=hoaks_berdampak_191218_17.15&webPushId=Mjk4Mg==)
Itu hanya beberapa, dan masih banyak lagi informasi tampak benar, namun pada
tataran riilnya adalah hoaks.
Sumber Gambar: iainurulhakim.blogspot.com
Nah di sinilah perlunya berpikir kritis. Cukup aneh mungkin bagi
sebagian orang terkait term “kritis” seakan tampak sangar, tampak menakutkan,
dan memaksa berpikir keras. Padahal jika dijalani sikap seperti ini tidak
sesulit yang dibayangkan. Hanya saja doktrin yang berkembang menganggapnya
masih tabu. Namun tak dapat dipungkiri, mau
tak mau, suka tak suka, memang kita perlu menggalakkan kekritisan sebagai
perisai untuk mengendalikan perkembangan efek buruk media sosial.
Kritisi atau terima saja, monggo pilih salah satunya!!! Hati-hati
guys, hoaks bisa berpotensi membuatmu terpengaruh dan rawan menyalurkan
pembohongan.
Barangkali itu saja yak, celoteh kali ini, semoga bermanfaat, amin.
Oiya mohon maaf jika sudah
lama tak pernah mengisi laman ini. Semoga ke depannya dapat istikamah lagi
untuk berbagi tulisan. Selamat beraktifitas.
3 Comments
except this post presents good understanding even.