duniahalimah.com—Sebuah karya terjemahan, ditulis oleh Ihsan Abdul Quddus seorang
penulis kebangsaan Mesir. Buku aslinya berjudul “Wanasitu Anni Imra’ah”
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Syahid Widi Nugroho yang
diterbitkan oleh Pustaka Alvabet pada tahun 2012.
Bagi saya ini sebuah novel
yang cukup menarik. Menceritakan kisah perempuan yang hidupnya lain daripada
perempuan Mesir pada umumnya. Dia menembus batas, lain daripada lainnya. Unik,
dan karena keunikannya inilah membuat menarik. Di saat perempuan
seumurannya menikah, dia malah memilih meluluskan sarjananya. Di saat perempuan
hanya terdiam ketika tertindas,, dia memberontak. Dia memimpin gerakan
perempuan. Bahkan gerakannya ini sudah dimulainya semenjak di sekolah dulu dan
terus berlangsung hingga kelak ia menjadi seorang pemimpin wanita.
Dari satu aksi ke aksi
lainnya. Dari satu partai ke partai lainnya. Begitulah aktivitas yang ia
geluti. Bahkan ketika perutnya buncit, dengan lantangnya ia maju ke garda
terdepan melakukan demostrasi. Sungguh perempuan luar biasa. Pantang mundur
meski berkali-kali halangan membentur.
Bukan hanya itu, berulang
kali semenjak sekolah dasar, dia sudah memberanikan diri mencalonkan sebagai
pemimpin. Dia selalu berhasil memimpin apa pun di depannya. Seorang aktivitas
feminis. Namun sayang seribu kali sayang, keberhasilannya dalam memimpin tidak
bisa ia terapkan dalam sebuah wadah kecil. Wadah kecil dalam suatu negara yakni
keluarga. Dua kali dia berumah tangga, namun dua kali pula wadah kecil itu
harus lepas dan hancur.
Nampaknya tokoh aku di dalam
novel ini belum bisa menyeimbangkan antara kehidupan masyarakat dengan hubungan
di dalam keluarganya. Sebenarnya dia menyadari bahwa seorang pemimpin tidak
akan diragukan kepemimpinannya jika hubungan dalam keluarganya baik-baik saja.
Akan tetapi ia kerapkali menepisnya. Selama dua kali menikah, si tokoh utama
selalu saja menganggap bahwa cinta hanyalah tempat di waktu luang saja. Ya,
waktu luang saja, padahal hidup sendiri tidak pernah lepas dari makna cinta
sendiri.
Baca Juga: Empat Puluh Kaidah Cinta Memantik Air Mata
Jika diperhatikan tokoh
utama tidak sepenuhnya berpikiran bahwa membangun sebuah keluarga yang harmonis
itu tidak penting. Ya, masih dengan sikap yang sama sekadar saja, kemudian
ditepisnya kembali. Demi karir, keluarga ia korbankan.
Dibagian mendobrak
kebiasaan perempuan yang hanya di belakang saja, cukup menarik. Dengan begitu
perempuan juga mendapatkan kiprah setara sebagaimana laki-laki. Namun dilain
sisi dirinya lemah dalam membangun keluarga yang harmonis. Tentu ini yang perlu
diberikan catatan ulang, mengingat keluarga adalah organisasi terkecil sebuah
negara pula.
Dari judul
novelnya begitu kelihatan terkait isi yang ada di dalamnya. Tentu
tentang perempuan yang mungkin telah lupa dengan dirinya sebagai perempuan.
Lupa di sini bukan bermakna secara holistik seraya merubah dirinya menjadi sebagai
seorang laki-laki. Akan tetapi judul ini—sesuai dengan isi di dalamnya—adalah
seorang perempuan yang memiliki semangat juang tinggi layaknya seorang
laki-laki. Perempuan yang lain dari biasanya. Tidak berlebihan jika disebut “langka.”
Salah satu penyebab
keluarga kecilnya tidak bertahan bukan hanya sekadar dia tidak dapat membagi
waktu, tetapi keegoisannya begitu kentara dalam penggambaran kediktatoran.
Apalagi ketika dia melarang anak perempuannya, yang lahir dari rahimnya itu
untuk mencintai seseorang. Lantas berharap anaknya menjadi seperti dirinya.
Itulah sekilas coretan saya
mengenai novel “Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan”, selebihnya teman-teman bisa baca
sendiri novelnya. Jika hanya membaca ulasan, masih kurang afdol.
Sampai jumpa.
0 Comments