Beberapa waktu yang lalu kami mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi
semester enam melakukan bincang-bincang dengan pengurus Jatman Surabaya.
Bertempat di ponpes al-Masykuriah Raudlatul Banat wa al-Banan, Wonocolo,
Surabaya. Dengan tema pembahasan “Tarekat Muktabaroh di Indonesia dan Jatman.”
Sebelum lebih jauh mari kita ketahui dahulu, apa itu Jatman? Jatman
atau kepanjangan dari Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah
yang didirikan pada tanggal 16 Rabi’ul Awal tahun 1377 H/ 10 Oktober 1975 di
Tegalrejo Magelang waktu itu. Merupakan badan otonom dari NU sendiri.
Sebenarnya salah satu fungsi dibentuknya Jatman bukan berarti untuk menyamakan
semua tarekat dalam satu wadah, namun hadirnya adalah sebagai wadah komunikasi
antar tarekat satu dengan lainnya, khususnya di Indonesia.
Meski perbedaan dalam setiap tarekat adalah mesti, bukanlah menjadi
sebuah tameng yang amat signifikan untuk tidak bersilaturahmi. Terbukti seperti
kegiatan pertemuan sufi internasional beberapa waktu yang lalu di Pekalongan.
Dari berbagai tarekat tergabung di sana untuk membahas isu-isu global di
sekitar kita.
Di sisi lain tarekat umumnya dipandang sebagai aspek spiritual
semata yang tentunya dinilai sakral. Seakan-akan hanya untuk habblumminallah
saja sedangkan habblumminannas-nya kurang diiddahkan, namun betapa
sangsinya jika melihat tarekat hanya sebatas dimensi seperti ini saja. Bukankah
dalam perjalanan lahirnya tarekat hingga dikenal sekarang, banyak bukti sejarah
yang tidak menutup diri dalam menghadapi masalah sosial masyarakat di sekitarnya.
Tentu jika dalam konteks seperti saat ini, sudah saatnya tarekat
tidak menutup diri dengan lingkungan sekitarnya. Apalagi jika dihadapkan dengan
berbagai isu global seperti terorisme, dekadensi moral, perpecahan, dan
seterusnya. Jika alternatifnya tarekat tidak menutup diri dengan isu-isu
global, saya kira cukup tepat. Mengingat di dalam tarekat diajarkan tentang
tasawuf. Tentang memperbaiki akhlak manusia.
Terjadinya permasalahan global
yang terjadi dalam masyarakat dunia saat ini adalah salah satunya karena nilai
akhlak yang terpatri dalam dirinya sangat minim, bahkan nyaris habis. Rasa
cinta antar sesama sudah terguras habis. Tidak hanya itu, bahkan hegemoni
terhadap ekologi semakin hari makin menjadi-jadi. Di sinilah peran tarekat
menjadi lebih luas, bukan hanya sekadar persoalan spiritualitas semata.
Ok, mari kita kembali ke pembahasan Jatman kembali. Untuk saat ini
secara struktural tarekat yang tergabung ke dalam Jatman telah berjumlah
sekitar 34. Di mana klasifikasi muktabaroh atau tidaknya sebuah tarekat salah
satunya adalah dilihat dari sanad atau silsilah keguruan hingga ke Rasulullah
saw. Namun ketika saya bertanya tentang apakah ada penilaian muktabaroh atau
tidaknya suatu tarekat selain dilihat dari segi sanad? Pihak pengurus Jatman
Surabaya malah bertutur bahwa ada tim khusus yang menangani hal ini dan bukan
ranah mereka untuk menjelaskannya, tuturnya waktu itu.
Mengingat Jatman adalah badan otonom dari NU maka tarekat yang
tergabung ke dalamnya juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai ahlu sunnah wa
al-jama’ah. Waktu itu pula pengurus Jatman yang kami temui menuturkan bahwa
tarekat sendiri sebenarnya adalah jantung dari Islam itu sendiri. Banyaknya
tarekat di dunia ini dianalogikan sebagai banyaknya pintu. Pintu yang banyak
menggambarkan rumahnya besar, begitupula banyaknya tarekat bermakna besarnya
kekuasaan Allah Swt.
Tarekat sendiri dipahami sebagai jalan untuk menuju-Nya dengan
melalui beberapa tahapan-tahapan atau biasa disebut maqam. Jika di Mesir
menurut keterangan pengasuh ponodok pesantren ini, terdapat lembaga khusus
setingkat dengan kementerian dalam menangani dunia ketarekatan. Sedangkan di
Indonesia sendiri belum ada yang setingkat itu. Namun di dalam NU didirikanlah
sebuah wadah untuk menaunginya yakni Jatman.
0 Comments