Sumber Gambar: projectrozana.org |
“Seberat zarroh pun jika kau maknai, nikmatnya sungguh luar biasa”
~Nurhalimah
Beginilah hidup, terkadang di atas, terkadang pula di bawah. Susah,
bahagia, senang, lelah, menjadi satu berbaur dengan; marah, kecewa, sakit hati,
dan semacamnya. Namun jika kita berhasil memaknai segala yang terjadi, tentu
tidak akan ada lagi rasa sedih di setiap sudut dada setiap orang.
Begitu beruntungnya orang yang mampu memaknai lika-liku hidupnya.
Memaknai setiap kejadian di hadapannya dan tidak mudah menyerah dalam menghadapinya.
Dapat dipastikan orang tipe ini tidak akan mudah putus asa, meski bertubi-tubi
rintangan datang menghadangnya. Cobaan, bahkan cemoohan orang-orang tidak akan
mampu membuatnya gentar. Semacam besi yang sudah ditempa berkali-kali. Ya,
mungkin fisik boleh kuat, namun rasa tidak sekuat fisik, bukan?
Tidak jarang kita sendiri seringkali menyaksikan orang frustasi,
mati sia-sia karena tidak menyadari akan hidupnya—putus asa dengan hidup ini.
Padahal jika setiap kejadian dimaknai tentu tidak ada yang buruk. Memang
kejadian buruk itu ada, namun itu hanya pandangan kita saja yang terbatas. Bisa
jadi tampak buruk di mata kita, tapi baik menurut pandangan Allah. Alquran
sendiri pernah menuturkan “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat
baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu.
Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui”, (Q.S. al-Baqarah 216)
Banyak hal yang menurut kita menyakitkan, namun setelah terjadi
lalu kita pahami ternyata mengandung pelajaran luar biasa. Seperti halnya
kejadian yang saya alami beberapa hari lalu. Hari itu saya sedang mengikuti
kegiatan di kampus hingga ralut malam. Kegiatan ini berupa rapat SC atau Steering
Comite dengan beberapa alumni. Mulanya saya tidak terbesit tentang kunci
gerbang kos, namun selang beberapa waktu akhirnya saya menyadari bahwa kunci
gerbang kos ketinggalan di kamar. Mendapati hal ini saya gusar, gawai saya mati
akhirnya saya pinjam power bank. Lalu mencoba menghubungi teman-teman
kos, namun semuanya nihil, semua telah terlelap. Lantas saya mencoba
menenangkan diri sembari memfokuskan. Saya jadi teringat dengan ungkapan dosen
sewaktu di kelas “Apa yang kamu rasakan, itulah yang akan terjadi.” Saya usaha
rileks dengan menarik nafas beberapa kali dan menahannya di perut lalu
menghembuskan lewat mulut. Beberapa kali saya lakukan, akhirnya saya
memasrahkan diri. Beberapa teman menawarkan agar menginap di kosnya, namun
dengan penolakan halus, saya tolak itu semua. Akhirnya saya memilih untuk
pulang ke kos.
Sesampai di sana kos benar-benar terkunci. Menyaksikan hal ini,
sebenarnya kegetiran dalam dada masih ada, namun saya coba menanggulanginya.
Kemudian saya memilih untuk duduk di bangku depan sebelah kos. Sekitar pukul
24.30 air hujan bagaikan ditumpahkan dari atas sana. Suara nyamuk menderu, mengitari
tubuh saya. Saya coba menyadari dan memasrahkan. Meski jika nanti tidak ada
keajaiban, saya akan tidur di kursi ini, gumam saya dalam hati. Selang setengah
jam, sekitar pukul 01.00 dini hari, tiba-tiba ibu-ibu yang kos di kamar depan
terbangun, dan saya meminta bukakan pintu gerbang.
“Alhamdulillah”, ucap saya dalam hati.
Dari kejadian itu saya sangat bersyukur, ternyata begitu nikmat
meski tampaknya sebagai sebuah penderitaan. Frankl selalu bertutur “di balik
penderitaan pun pasti ada makna yang dapat kita ambil.” Jika kita menyadari
atas semua yang terjadi, saya rasa tidak akan ada orang mengeluh atas apa yang
menimpanya.
Bukankah pula, para bijak seringkali menuturkan “Di balik kesusahan
pasti ada kemudahan, begitu pun sebaliknya”. Bahagia dan sedih seakan sudah
sepaket yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Adanya yang satu untuk
memperkuat adanya lainnya. Lalu apa yang membuatmu masih bersedih?
5 Comments