Guru begitulah
sebutan untuk sosok manusia yang telah mengajarkan banyak hal di sekolah. Di
Indonesia sendiri sebutan orang mengajar bukan hanya guru, tapi bisa disebut
Ustad, Ustadza, Kiai, dan seterusnya. Inilah salah satu keunikannya. Namun
bagiku tidaklah sesederhana itu saja dan juga tidak hanya dalam penyebutan
makna, tapi lebih dari itu.
Doc. Me |
Bagiku
dialah sosok luar biasa, setelah kedua orang tua kita. Mereka mengajar,
mendidik, dan mengarahkan para murid-muridnya agar tahu tentang apa yang belum
diketahui. Tanpanya, aku sendiri,
kamu bahkan presiden pun bukanlah siapa-siapa dan bukan apa-apa.
Memang, dari semenjak di perut
Ibu Allah telah memberikan potensi untuk mengetahui, namun jika tanpa ada yang
mengarahkan, bisa-bisa salah jalan, nah di sanalah peran guru untuk
mengarahkannya.
Menjadi
seorang guru rasanya bukanlah hal yang biasa
dan tidaklah semudah membolak balikkan
telapak tangan. Perlu kesabaran
ekstra, serta rasa pengabdian luar biasa. Apalagi di zaman seperti saat ini
dengan generasi anak-anaknya yang jauh berbeda.
Sungguh benar-benar berbeda dengan generasiku waktu itu..
Generasi
saat ini, kurasa sangat beruntung, dengan karakteristik milenialnya lebih
menonjol di bidang teknologi informasi. Segala
informasi bisa didapat, bahkan buku pun bisa dijangkau dengan sekali sentuh di
layar gadget. Bukan hanya itu saja, bidang-bidang lainnya pun juga melejit.
Tidak sama dengan zamanku yang segalanya
masih sederhana. Sewaktu ku sekolah dulu tidak ada proyektor, nah
sekarang sudah ada. Dulu tidak memakai komputer, sekarang sudah biasa.
Aku
rasa hal ini bernilai kemajuan yang pesat. Namun siapa sangka, di balik
kemajuan ini tidaklah semulus dikira. Perubahan memang niscaya dan di baliknya
mesti ada hal yang dikorbankan juga.
Disamping bernilai positif, juga negatif. Positifnya barangkali kemajuan itu
semua memudahkan kegiatan manusia, namun negatifnya banyak yang mengalih
fungsikan.
Selama KKN ini aku pribadi sempat mengisi mengajar di
Sekolah Dasar dan Madrasah Diniyah. Pengalamanku selama mengajar di Madin
(Madrasah Diniyah) merasa amat miris.
Miris karena mendapati para
murid-muridnya yang tidak seperti zamanku
dulu. Jika aku dulu, ada guru masuk kelas semua murid terdiam, lantas
mendengarkan apa yang dituturkan oleh guru di depan. Tidak pula berani naik ke
atas meja, bicara sendiri, serta celometan. Namun tidak dengan murid-murid yang
kutemui benar-benar berbeda.
Aku
pribadi merasa inilah perbedaa. Ya, meski aku belum tahu apakah sikap mereka
sama dengan guru-guru mereka. Tapi kepalaku menggeleng-geleng karena sewaktu
aku duduk di bangku sekolah, tidak pernah sekali-kali bersikap seperti itu.
Apalagi sampai jalan-jalan ketika guru sedang menjelaskan.
Ya,aku sendiri tidak dapat memastikan apakah di sekolah
lainnya juga begitu, namun jika kucoba bandingkan dengan sewaktu aku sekolah,
rasanya amat berbeda. Dan nyaris air mata
mengalir karenanya. Padahal dalam
kitab Ta’lim telah dijelaskan agar menghormati gurunya, bahkan anak
gurunya juga dihormati sama. Namun zaman telah berbeda, bahkan guru pun
dianiaya seperti pemberitaan di tahun yang lalu.
Memang
aku sendiri tidak dapat menyalahkan siapa pun ketika mendapati hal ini. Karena
adanya perubahan ini adalah suatu niscaya. Dan datangnya tidak dapat diduga.
Dalam sebuah buku sempat aku baca menuturkan bahwa perubahan terjadi mesti ada
pengorbanan atau efek samping. Jadi kita perlu menyadari jika ada perubahan
kemajuan, pasti ada yang perlu dikorbankan.
Tapi kurasa semua kembali kepada
manusianya, zaman boleh berubah
2 Comments