Dok. Pribadi
Minggu 1 September 2019, kebetulan diriku menaiki bus jurusan
Jember. Sebenarnya begitu jarang aku memilih pulang di hari Minggu. Ya, meski
hari minggu libur, namun liburnya sedikit. Apalagi hari Seninnya sudah masuk,
tapi ketika mengingat tidak ada waktu lagi akhirnya ku memilih hari itu.
Ok, kita bisa lanjut...
Sewaktu di terminal
Probolinggo aku merasakan fenomena yang tidak asing lagi dibenak siapa pun,
namun tetap saja kuperhatikan.
“Betapa tidak mudahnya mencari uang,”tuturku dalam hati.
Mataku terus memandangi pedagang asongan sedang lalu lalang di
dalam bus yang tengah berhenti menunggu penumpang. Mereka bergantian masuk,
mulai dari cemilan, minuman, hingga barang-barang lainnya. Mendapati hal ini
senyumku melebar, apalagi ditambah dengan sikap pedagang itu yang meletakkan
barang dagangannya kepada penumpang dari deretan depan hingga belakang.
Ya, kurasa fenomena ini sangat mafhum kulihat, apalagi untuk
pembaca yang sering mudik. Tidak jarang pula ku menemukan beberapa penumpang
merasa risih dengan tindakan pedagang asongan ini. Tiba-tiba saja meletakkan
barang dagangannya, semisal satu bungkus kacang di pangkuan penumpang. Lagi-lagi aku menertawai tindakanku yang
sedang memperhatikan secara seksama tindakan para pedagang asongan ini. Apalagi
ditambah dengan gaya bicaranya yang kurasa sudah sangat fasih untuk menyebutkan
satu persatu jualannya. “Kacang-kacang, minuman, kerupuk udang, tahu asin...”
(kira-kira begitulah).
Satu hal yang tidak pernah habis kupikir rata-rata dagangan mereka
cukup mahal. Semisal harga satu botol air minum biasanya di warteg-warteg
seharga 3000 rupiah menjadi 5000 rupiah. Aku sendiri cukup menyadari bahwa ternyata
sebagian dari dagangannya bukanlah milik sendiri melainkan milik orang lain.
Tidak hanya pedagang asongan saja yang bagiku menarik. Pengamen pun
bagiku menarik. Tepat di hari itu juga, di bus itu pula seorang perempuan
dengan perut buncit—entah berapa umur kandungannya—memasuki panasnya dalam bus
kota. Lalu dia membagikan amplop dengan bertuliskan “Mohon maaf telah
mengganggu kenyamanan anda kami di sini numpang ngamen untuk kebutuhan
sehari-hari...:.” Mendapati hal ini, air mata mengalir begitu saja. Lagi-lagi
kuusap dada mendapati hal ini. Begitu sukarnya mencari uang, hingga tidak kenal
waktu, mau subuh, pagi, siang, sore, atau malam, diterobos saja.
Kejadian semacam ini seringkali terjadi, bahkan ku menemukannya
setiap menaiki bus untuk pulang ke tanah kelahiran. Bukan hanya ibu-ibu, anak
kecil pun melakukan hal serupa. Pikirku menerawang jauh melintasi pergumulan
panasnya bus di siang hari. Apakah ini dikatakan merdeka? Apakah ini dinamakan
sejahtera? Lagi-lagi tanganku mengusap dada. Begitu sukarnya mencari uang,
untuk sekadar mempertahankan hidup. Mencari sesuap nasi untuk keluarga di
rumah.
“Mencari uang begitu sukar, menghabiskannya begitu mudah.”
Aku sendiri mendapati hal ini menjadi belajar, belajar tentang
makna hidup sebenarnya. Mungkin kita sudah terbiasa dengan hidup mewah. Ingin
ini atau itu, mudah saja. Tinggal minta orang tua, sudah beres. Tinggal telepon
orang tua “Ma saldoku habis” sekejap saja sudah dikirim. Namun tidakkah kau
tahu, orang tua kita berpanas-panasan, hingga air keringatnya membanjiri krah
bajunya. Membanting tenaga, berpikir seribu cara hanya untuk kita.
Ya, aku tahu ini sedang tidak bicara soal materialis dan kita tidak
dapat mengelakkan diri bahwa hidup sendiri butuh biaya. Dan sebagai sosok yang
masih meminta kepada orang tua, hendaknya berpikir seribu pikir untuk
menggunakannya secara semestinya. Meski kutahu dari sebagian pembaca sudah dapat
membiayai hidupnya sendiri. Namun bagiku, tiada salah jika ku menuliskannya di
sini.
0 Comments