“Rindu,” tutur seorang pujangga dalam sebait puisinya. Ya, kukira
kau sudah kenal dengan kata ini, bukan? Kata yang selalu membuat siapa saja
rela meneteskan air mata atau melakukan sesuatu demi terobatinya rasa itu.
Tidak asing lagi, namun kau tahu dalam tulisan ini aku ingin menuliskannya
sebagai bentuk ejawantahan gejolak dadaku tentang ini.
Bagiku kata rindu menjadi suatu perbendaharaan asyik untuk
ditampilkan ke permukaan. Diejawantahkan dalam bentuk ke”puitisasian” lalu
dinikmati bersama alunan angin menerpa rambut tergerai. Ketika memperbincangkan
soal ini pertama kali muncul dalam benak adalah kata-kata indah yang tidak
lepas dari pembahasan perasaan. Perasaan yang Allah ciptakan yang tiba-tiba
datang serta tidak dapat dilihat bentuk serta warnanya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa kata “Rindu” dikenal dengan makna sangat ingin
atau benar-benar berharap, atau bisa juga berarti sebuah keinginan kuat untuk
bertemu. Sedangkan menurutku kata rindu sendiri hanyalah sebuah label untuk menyebutkan
sebuah rasa yang dialami oleh anak manusia. Biasanya timbul dengan
gejolak-gejolak meraup dada, seakan-akan ingin meluap layaknya air berlebihan
di dalam gelas.
Perasaan rindu itu terjadi kapan saja dan di mana saja. Tua, muda,
bahkan seluruh manusia pun pernah merasakannya. Rindu pada sesuatu yang telah
terlampaui dan jejaknya tidak dapat diulang kembali. Tidak jarang ketika rindu
itu datang air mata menetes begitu saja, layaknya kran otomatis. Seperti rindu
kepada orang tua dan orang terkasih. Selain itu, rindu bisa disebabkan oleh
kerinduan kepada suasana nyaman, tenang, tentram, dan tempat-tempat penuh
kenangan.
Di saat perasaan ini datang setiap orang memiliki caranya
tersendiri untuk melesatkan rasa di dadanya itu. Jika Rumi mengejawantahkan
kerinduannya dengan berzikir seraya memutarkan tubuhnya, menarik energi positif
semesta lalu menyalurkan ke bumi. Seorang penyair menuangkannya ke dalam
syair-syairnya seperti bongkahan mutiara keluar dari penanya. Penyanyi
melukiskan kerinduannya dalam setiap lirik lagunya, pelukis dengan
melukiskannya, para sufi dengan riyadlahnya, dan para pencinta dengan tangisannya.
Pernahkah kau melihat seseorang yang rindu Rasul lalu selalu
menangis saat mengingatnya? Pernah pula kau melihat orang mendengar namanya
disebut, maka bergetarlah hatinya? Pernahkah juga kau merasa beliau hadir di
tengah-tengah majelis saat selawat tersebar ke seluruh penjuru ruangan? Kemudian
kau teteskan air matamu begitu saja, seakan-akan beliau hidup kembali. Aku
sendiri pernah menyaksikannya, itulah rindu.
Bagiku pembahasan soal rindu selalu menarik untuk kutulis, karena
rasa itu datangnya tidak pernah diduga dan logika tunduk kepadanya. Bagaimana
tidak, di saat sedang sibuk-sibuknya lalu mengingat jejaknya menjadi teringat,
lalu meneteslah air mata. Jika Dilan bertutur rindu itu berat dan ku sadari
memang benar-benar berat. Namun apalah daya rasa itu datang saja, semakin
ditolak semakin mengejar.
Lembaran biru membuatku terbelenggu. Siapa yang tahu? Ah, rindu
Rasa itu datang bertandang meski tak pernah ketuk pintu
lalu dia masuk begitu saja
Dia bisikkan kata-kata
Dada pun bergetar, air mata berjatuhan
Mengingat dalam setiap gerakan salat
Menangis saat wajah tengadah
Kerap menyapa ingin bersua
Sebut namanya dalam doa
Surabaya, 22 November
2019
0 Comments