Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah novel karya seorang novelis
asal Turki, Elif Shafak. Judulnya Empat Puluh Kaidah Cinta, dengan cover warna
biru muda, disertai ilustrasi bulan dan seseorang yang tengah memakai kostum
whirling. Hal pertama membuat saya terpesona untuk membeli buku ini adalah
karena sinopsisnya menyebutkan soal Rumi. Ya, Rumi sosok penuh misteri yang
namanya tidaklah asing lagi dalam kancah dunia tasawuf. Bahkan jika saya tidak
berlebihan, nyaris semua mengenalnya. Baik dalam bentuk karya, ajaran, maupun
perbincangan para cerdik cendekia. Dialah sosok ulama sufi yang hingga saat ini
namanya masih saja menggoncangkan Timur dan Barat. Apalagi syair-syairnya juga
membuat siapa pun terpesona.
Izinkan diri ini bertutur tentang buku ini. Buku yang menurut
“asumsi pribadi” membuat pembaca terpana. Penulisan kisahnya dibuat semacam
novel sejarah. Penulisnya begitu lihai menggunakan tokoh yang menceritakan
tokoh lain dalam buku ini. Bagaimana sosok Ella Rubinstein, seorang ibu rumah
tangga berumur empat puluh tahun, lekat dengan rutinitas kesehariannya bersama
anak-anak dan suaminya. Namun amat begitu disayangkan selama merajut ikatan
keluarga, ia merasakan dirinya belum menemukan kebahagiaan seutuhnya. Hingga
suatu hari ia mendapatkan sebuah pekerjaan untuk menerjemahkan sebuah karya.
Karya seseorang yang kelak mengubah Ella untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
Di samping mengisahkan sosok Ella, dalam novel ini mengisahkan pertemuan
dua tokoh eksentrik dari abad 13 yakni Rumi dan Syams Tabriz atau Syams dari
Tabriz. Kedua pencinta yang kisahnya hingga kini masih sering diperbincangkan.
Bahkan karya-karya Rumi seringkali dikaji dan dibacakan di mana-mana, termasuk
saya akhir-akhir ini cukup gandrung dengan puisinya (Bisa Anda temukan dichannel you tube Dunia Halimah). Dalam buku ini, Syams seringkali
menyebutkan empat puluh kaidah cinta. Di mana dalam setiap kaidahnya mengandung
makna tidak biasa, ia biasa melontarkannya di saat bertemu dengan seseorang
atau mengalami suatu kejadian. Kiranya saya tidak berlebihan, di saat
membacanya air mata meleleh tidak karuan.
Sosok Syam semenjak kecil merasa tidak pernah sama dengan orang
lain;
Ketika aku masih kanak-kanak, aku melihat Tuhan, aku melihat
malaikat; aku mengamati misteri dunia atas dan dunia bawah. Aku mengira, semua
orang juga melihat yang sama. Akhirnya aku menyadari, mereka tidak
melihatnya...
~Syams dari Tabris
Di sana diceritakan bahwa ayahnya seringkali mendapat keluhan dari
para tetangga tentang tindakan Syams yang menurut mereka menakut-nakuti
anak-anak mereka. Ayah Syams sepertinya tidak memahami karakter anaknya, hingga
akhirnya Syams memutuskan berkelana, melakukan perjalanan ke mana saja. Bertemu
dengan beragam ajaran, berguru kepada setiap yang ditemui hingga suatu hari ia
merasakan sesuatu yang membuatnya tidak lengkap. Hingga suatu hari ia
mendapatkan ilham untuk pergi ke Baghdad dan menginap disebuah pedepokan Sufi.
Beberapa bulan ia di sana, hingga akhirnya datanglah sebuah surat yang
dialamatkan kepada Baba Zaman atau pimpinan sufi di tempat itu. Isi dari surat
itu datang dari seseorang yang mengisahkan tentang sosok pemimpin yang merasa
dirinya terombang-ambing dalam berjalan.
Singkat kisah, akhirnya Syams bertemu dengan Rumi, seorang pendai,
cendekiawan berpengaruh di Konya. Keduanya menjadi sangat akrab, bahkan merasa
tidak ada bedanya. Namun sayang sekali, di balik itu orang-orang sekitarnya,
bahkan murid-muridnya pun tidak memahami makna dari keduanya. Hingga ujungnya,
Syams berakhir dibunuh, hingga membuat Rumi menjadi manusia bermandikan
syair-syair cinta. Satu adegan yang masih terpatri dalam kepala saya adalah, di
saat seorang Rumi diperintahkan Syams untuk membeli dua botol anggur. Anehnya
ia melakukannya, karena dia menyakini bahwa apa yang diperintahkan Syams ada
sesuatu yang tidak ia ketahui. Sesampai di kedai penjual anggur, para pemabuk
heran, Rumi selama ini dikenal dengan sosok alim ternyata membeli dua botol anggur.
Sesampai di rumah, ia berpapasan dengan Aladdin anak keduanya, dia nampak
begitu geram dan beranggapan kurang baik terhadap ayahnya. Terjadilah
percekcokan hingga Aladdin berakhir geram. Percayakah kalian ternyata Anggur
yang dibeli bukanlah untuk diminum, namun Syams siramkan ke bunga di halaman
rumah. Dalam keadaan ini saya merasa, sejatinya kita tidak dapat melihat
sesuatu dengan separuh. Syams melakukan ini, ingin membuktikan sejauh manakah
pangkat, nama, dan pamor diri Rumi menggerogoti tubuhnya.
Beragam tantangan dilewati keduanya dengan tidak lupa untuk
menyebutkan soal kaidah-kaidah cinta itu. Hingga akhirnya berujung Syams lebih awal menemui kekasih sejatinya. Begitu pun dengan Ella, akhirnya ia
bertemu dengan penulis naskah yang ia terjemahkan, lalu dia memilih untuk
bersamanya. Akhir cerita penulisnya (Aziz namanya) meninggal di Konya, sesuai
dengan keinginannya untuk dikebumikan di tanah Rumi.
“Cinta tidak bisa dijelaskan. Ia hanya bisa dialami. Cinta tak bisa dijelaskan. Tapi ia menjelaskan segalanya”
0 Comments