Gema takbir dikumandangkan dari ujung kota hingga
ke pelosok-pelosok desa. Seluruh umat muslim di belahan dunia, sama-sama
merayakanya. Sebuah momen kemenangan yang selalu dinantikan setelah
menunaikan ibadah puasa selama sebulan lamanya. Sembari menahan nafsu syahwat,
makan, dan emosi.
Adanya takbiran pertanda hari kemenangan telah tiba.
Sorak-sorak anak kecil dengan senyum sumringah di wajahnya mengisi setiap
sudutu-sudut desa. Sembari berteriak dengan kencang mengucapkan takbir. Apalagi
yang mengerjakan puasa sebulan penuh, tentu sangat bahagia. Ketika malam hari
Raya itu datang, kembang api bertebaran di langit. Tampaknya sangat indah
menghiasi malam diiringi takbir.
Bau masakan menguar dari arah dapur, tempat ibu
memasak. Lontong, ketupat, daging, nasi putih, ayam bumbu merah, menjadi
masakan pertama di hari itu. Toples-toples berjejer rapi, berisikan beragam kue
kering. Tidak lupa juga macam-macam minuman disediakan untuk tamu yang
bertandang.
Bangun pagi, lalu membersihkan rumah, membantu ibu
di dapur, kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke masjid. Menggunakan pakaian
baru, mulai dari ujung rambut hingga kaki. Sembari merasa menjadi sesuatu yang
baru di pagi itu. Berjalan bersama menuju sumber gema takbir dikumandangkan
semalaman. Sesampai di sana, orang-orang sudah berjejer rapi, membuat saf-saf
dengan beralaskan sajadah.
Jamaah membludak tidak seperti hari-hari biasanya. Lantai
utama dan lantai kedua telah meluber, hingga ada yang menempati teras-teras
rumah sekitaran masjid. Dada seketika bergemuruh saat gema itu didengungkan
lagi kemudian salat di mulai.
Setelah melalui serangkaian salat, kemudian
pulanglah kami dengan bersalam-salaman. Rasanya ingin segera cepat-cepat sampai
di rumah. Ingin segera mencium tangan kedua orang tua dan memakan masakan ibu.
Terkadang kami mempercepat langkah, melewati orang-orang yang berjalan kaki.
Tangan keduanya kami cium seraya meminta maaf atas
tindak tanduk dan perangai selama ini. Keduanya begitu baik, rela mengorbankan
segalanya demi anak-anaknya. Setelah itu piring dan sendok segera beradu.
Menyantap masakan Ibu yang selalu menjadi makanan paling enak di dunia.
Barulah setelah itu, kami bersalam-salaman dengan
tetangga yang kebetulan masih saudara. Kemudian dilanjutkan dengan membawa
bunga dengan campuran potongan pandan. Terkadang juga dicampur dengan air.
Tidak lupa juga membawa buku kecil berisikan surah Yasin. Menjadi suatu
kebiasaan bagi kami melakukan hal ini sebagai salah satu meminta maaf dengan
menziarahi makam keluarga. Bahkan bukan hanya kami saja, semua orang di desa
kami juga serupa.
Sepulang dari sana, barulah kami menunggu saudara
dan kerabat bertandang ke rumah. Di hari-hari awal lebaran, pekerjaan sementara
diliburkan. Meski di kandang ada Sapi yang harus dicarikan rumput, biasanya
diganti dengan membeli rumput. Namun jika tidak begitu, maka kami terbiasa
mencari rumput saat pagi-pagi sekali.
Bunyi petasan masih saja memecahkan keheningan. Di
siang hari petasan yang dibuat sendirilah menjadi sasaran untuk merayakan
kemenangan. Kertas-kertas potongan itu bertebaran, seketika halaman menjadi
penuh dengan kertas dan menjadi kotor. Akan tetapi sebagian mereka beranggapan,
ini salah satu cara untuk merayakan kemenangan ini.
Itulah kisah yang masih jelas di kepalaku, meski
tidak seluruhnya tertulis di sini. Tahun demi tahun momennya hampir sama, namun
sayang tidak dengan hari raya saat ini. Belum bisa bersua dengan keluarga serta
melaksanakan salat idul fitri di masjid itu. Tidak juga bisa menyaksikan
petasan buatan yang kertasnya bertebaran di halaman rumah.
Bertahan di rantau sebagai salah satu ikhtiar untuk
memutus rantai penyebaran virus. Semoga Indonesia sembuh dari pandemi ini.
Amin.
Selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan
batin.
0 Comments