Tidak dapat dielak setiap orang pernah mengalami
rasa tidak semangat, galau, kecewa, dengan dirinya maupun lingkungannya.
Sehingga itu semua menjadikannya murung, merasa tidak berarti, bahkan nyaris
tidak memiliki semangat hidup. Hal ini sejatinya sudah diberikan sebuah solusi
oleh Viktor Emil Frankl dalam teorinya logoterapi. Ketika seseorang tengah
mengalami kondisi seperti itu hendaknya keluar rumah, carilah tempat-tempat
yang dapat mengalihkan perhatian kita.[1]
Siang tadi, saya merasakan hiruk pikuk tidak
semangat dalam diri saya. Tiba-tiba saya menangis mendapati itu semua. Namun
tepat seketika itu juga saya teringat dengan pembahasan di kelas dahulu, ketika
sedang mempelajari Logoterapi. Akhirnya saya memilih untuk mengayuh sepeda.
Menelusuri gang demi gang. Beberapa kali berhenti dan mulailah pikiran dan
perasaan teralihkan.
Orang-orang berlalu-lalang dengan kendaraannya.
Wajahnya tertutup masker, tanpa sedikit pun terlihat mulutnya. Ada yang
melayani pembeli, diam di pinggir jalan, serta masih banyak aktivitas lainnya.
Sepanjang jalan, mata saya tidak lupa melirik ke kiri dan ke kanan. Betapa
sepinya situasi di tengah pandemi. Namun sayang sekali hipotesa pertama
terbantahkan dengan adanya kerumunan di toko kue. Saling berhimpit, menunggu
giliran bukan memanjang, tapi berjejer di depan etalase toko. Padahal ukuran
tokonya begitu sempit, sehingga begitu tampak berdesak-desakan. Ya, meski
mereka menggunakan masker, namun sama saja.
Kemudian saya kembali mengayuh sepeda, lalu berhenti
di pinggir jalan, tepatnya dekat sebuah toko. Di sana saya memandang sekeliling
dengan penuh seksama. Meski dalam situasi pandemi seperti ini mereka tetap
bekerja, ya sebagai media untuk
menyambung hidup. Detik-detik inilah pandangan saya terhenti pada seorang nenek
sedang duduk di trotoar. Menggunakan pakaian lusuh, kulitnya kecoklatan, tanda
seringkali di makan panas mentari. Rasa penasaran menggerogoti tubuh saya.
Segeralah saya mengarah ke tempat nenek itu duduk. Alangkah terkejut, ketika
melihatnya tanpa masker dan di depannya tergolek toples lusuh dengan beberapa
uang seribuan. Dengan hati-hati sepeda saya parkir, dan meletakkan lembaran ke
dalam toples.
Selanjutnya, saya menemukan seorang laki-laki sedang
duduk di trotoar, lurus dengan tempat duduk nenek tadi. Di depan laki-laki itu teronggok
barang rongsokan. Layaknya nenek tadi, laki-laki ini pun juga tidak menggunakan
masker. Mendapati itu semua, air mata tidak terasa menetes. Mengapa diri sendiri
merasa tidak semangat, sedangkan orang lain di luar sana membanting tulang
dengan keras. Melawan arus pandemi untuk menyambung kehidupan.
Selama ini kita seringkali merasa sedih, keceewa, marah
dengan kondisi-kondisi kita. Bahkan tidak jarang kita melampiaskan pada
sekitar. Sehingga cenderung frustasi, karena keinginan tidak terpenuhi. Tentu
ini sebuah tindakan kurang baik, bagaimana orang lain, saat-saat masa sulit
harus berjuang melawan pandemi dan melawan kelaparan. Sedangkan kita masih
bekutat pada kesibukan perasaan. Benar kata orang arif, melihat itu ke bawah,
agar kita selalu bersyukur atas nikmat Allah.
Jika begini seharusnya kita malu ketika semangat itu
kendor, kecewa, marah, dengan keadaan kita. Karena sejatinya yang lebih
menyedihkan daripada kita, masih banyak di luar sana. Keluar rumah menjadi
salah satu cara terbaik untuk mengobatinya. Pepatah lama mengatakan, batu
memang keras, namun jika setiap hari terkena air, maka akan hancur juga.
Sekeras-kerasnya hati, jika seringkali melihat kehidupan orang lain yang ada di
bawah kita, niscaya akan merasakan iba, kemudian bersyukur atas nikmat Allah.
[1] Viktor Emil Frankl hidup bekisar
tahun 1905 hingga 1997. Teori yang dicanangkannya adalah logoterapi. Di mana
teorinya ini paling berbeda dengan teori psikologi yang lain. Adalah umumnya
menafikan adalah spiritualitas dalam diri manusia. Namun Frankl berbanding
terbalik dengan aliran psikolog sebelumnya, spiritualitas menjadi salah satu
solusi untuk medapatkan makna hidup.
0 Comments