Hidup
di dunia bukan berarti terlepas dengan penderitaan, kesakitan, dan keburukan.
Namun pada tataran horizontalnya semua itu adalah keniscayaan yang tidak bisa
dielak oleh siapa pun. Menukil buku Filosofi Teras “Mengingkari apa yang
terjadi berarti keluar dari keselarasan alam.” Jadi semua itu memang ada,
bahkan adanya kepahitan sebagai pembeda untuk mengenali kemanisan.
Pagi
tadi saya mengikuti sebuah kegiatan diskusi “PeaceSantren Kediri.” Di mana
pembahasannya seputar bullying.
Tahukah kalian dengan terminologi ini? Berasal dari kata bahasa Inggris dan
jika dalam bahasa Indonesia diartikan mengintimidasi, perundungan, penindasan,
yang bisa diaplikasikan dalam bentuk kekerasan, menperolok, mengancam, dan
memaksa korban. Saya mengira para pembaca sudah sangat mafhum dengan istilah
ini, bahkan kerapkali menyaksikan atau menjadi korban dari perilaku ini. Baik
itu dilakukan dari individu ke individu, kelompok ke individu, atau sebaliknya.
Pada
masyarakat kita, persoalan ini seringkali dianggap sesuatu yang biasa. Bahkan
nyaris dianggap bukan masalah. Seperti halnya mengganti nama orang lain lalu
menjadi bahan ejekan, mengancam teman sebaya, memperolok nama orang tua, fisik,
dan seterusnya. Saya sendiri pun sering menyaksikan bagaimana kejadian seperti
ini terjadi, sehingga membuat korbannya terperangkap di dalamnya.
Persoalan
ini bukan ternyata bukan hanya mengganggu pada sisi emosional korban, tapi juga
fisiknya. Dikutip dari laman KPAI (Komisi Perlindungan Anak), bahwa kasus bulliying merupakan gambaran ekstrim
yang begitu fatal. Karena korbannya bukan hanya mendapati kemarahan saja, tapi
juga mengalami luka batin yang sukar untuk disembuhkan. Tidak heran jika banyak
korban yang pada masa dewasanya mengalami berbagai persoalan. Seperti trauma,
ketakutan, dan mengalami gangguan fisik.
Menyitir
sebuah dokumen yang dipublikasikan oleh kemenpppa.go.id terdapat enam jenis bullying;
Kontak Fisik Langsung,
yakni kasus bullying dengan menggunakan fisik, seperti mendorong,
memukul, menampar, mencubit, mencakar, menggigit, menjambak, menendang, serta
merusak barang korban.
Kontak Verbal Langsung,
yakni bentuk kasusnya berupa tindakan mengecam, mempermalukan korban,
merendahkan, mengejek, mengintimidasi, menyebarkan gosip, mengubah nama dan
menjelek-jelekkannya.
Perilaku Non Verbal Langsung,
bentuknya berupa melihat korban dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan
ekspresi muka merendahkan atau ilfeel.
Perilaku Non Verbal Tidak Langsung,
seperti tindakan mendiamkan seseseorang, mengabaikan dan mengucilkan korban.
Cyber Bullying,
yakni tindakan menyakiti orang lain melalui media elektronik, baik dalam bentuk
video intimidasi
Pelecehan
Seksual, terkadang tindakan pelecehan ini dikategorikan sebagai perilaku
agresi fisik maupun verbal.
Itulah
beberapa kategori dari bullying yang
ada di lingkungan sekitar kita. Hal ini yang dirugikan bukan satu pihak saja,
namun seluruh pihak. Baik korban
(yang di-bully), yang menyaksikan,
dan orang yang melakukan. Hal ini bisa membawa pengaruh buruk pada mental serta
fisik seseorang. Tidak jarang kita
menyaksikan pemberitaan soal bunuh diri akibat dari di-bully. Bukan hanya itu saja, juga
berpotensi trauma, minder, serta kehilangan makna hidupnya.
Kendati
pun itu semua adalah niscaya ada di tengah-tengah masyarakat, atau mungkin kita
sendiri pernah mengalaminya, saya kira semua ada solusinya. Lagi-lagi semua
kembali pada diri kita bagaimana cara kita menanggapi bully-an. Seperti yang dideklarasikan oleh buku Filosofi Teras,
sejatinya kita tidak dapat mengendalikan hal-hal di luar diri kita. Namun diri
kita sendiri mampu untuk mengendalikannya. Apakah kita akan memilih terpengaruh
atau tidak dengan sesuatu di luar diri kita. Selain itu, untuk mereka atau kita
yang telah terlanjur menyimpan luka akibat bullying
segeralah release. Maafkan
mereka, karena di saat kita memaafkan, maka perasaan bahagia akan menyelimuti
hidup kita.
#inspirasiramadan
#dirumahaja
#flpsurabaya
#BERSEMADI-HARI-KE-11
0 Comments