Foto dari kiri, Ayah, Saya, dan Paklek |
Bersyukur bukan hanya pada sesuatu yang materi saja, akan tetapi bentuk tidak ternilai juga tidak boleh dilewatkan. Seperti nikmat sehat lahir dan batin. Hingga detik ini, sehat adalah kekayaan terbesar. Coba pikirkan, si A adalah orang kaya raya, apa pun bisa ia dapatkan, namun akibat dari kelalaiannya menjaga kesehatan jadinya ia sakit dan bolak balik berobat. Sedangkan si B adalah orang biasa, makanannya seadanya, karena dia berpikir makanan sederhana asalkan sehat itu jauh lebih penting. Akibat dari kebiasaan itulah, si B tidak pernah sakit. Kira-kira jika kamu berada di posisi keduanya, mau pilih yang mana?
Pastinya kamu akan menjawab, kaya sekaligus sehat. Sayangnya hanya
ada dua kisah. Si A memang kaya, namun karena kebiasannya makan makanan yang
kurang sehat akhirnya berimbas pada tubuhnya. Berkali-kali ke rumah sakit,
menguras kekayaannya. Disamping itu, ia juga dilarang memakan makanan enak. Disitulah
ia tersiksa atas kekayaannya. Sedangkan si B, karena sudah menerapkan makan
makanan sehat, jadi tidak pernah sakit, serta hidupnya menjadi tentram.
Baca Juga: Buah yang Satu ini Dinilai Bermanfaat
Realita di masyarakat kita, fenomena keduanya banyak sekali. Karena
bisa membeli apapun yang diinginkan hingga lupa akan kesehatan. Olahraga
jarang, malah mengonsumsi makanan yang berpotensi mengakibatkan sakit lebih
dominan. Membahas soal ini jadi teringat
dengan sembilan saudara kandung ayah saya. Saudara pertama ayah, kurang lebih
berumur sembilan puluhan. Fisiknya masih kuat, pergi ke ladang masih sangat
bisa, bahkan cari rumput untuk ternak di kandangnya. Penglihatannya pun masih
sehat dan mampu mengayuh ontel. Hanya saja pendengarannya kurang baik. Ketika
saya tanyakan mengenai soal ini, ayah angkat bicara, jika kakak tertuanya itu
sedari kecil tidak pernah memakan makanan yang berpotensi menjadi penyakit.
Selain itu, kerja keras menjadi andalan memacu kesehatan dalam setiap harinya.
Konon kakek saya dahulu meminta nenek agar memberikan jamu yang
terbuat dari tumbuhan untuk anak-anaknya. Katanya jamu itu dapat menjadikan
tubuh semakin sehat dan penambah nafsu makan. Di antara sembilan dan ayah saya ke sepuluh
bersaudara, belum ada satu pun yang terserang penyakit-penyakit tinggi seperti
kolesterol, darah tinggi, dan sebangsanya. Saya pikir inilah hebatnya orang
dahulu, menjaga kesehatannya. Dahulu kata ayah untuk makan pun perlu gepruk[1]
berasnya ke lesung, karena pada masa itu belum ada mesin selep padi dan
jagung. Jika tidak begitu, nasi singkong. Sayurannya diambilkan dari hasil tanaman
depan rumah seperti daun kelor dan bayam. Makan ikan sangat jarang, karena
jarak pasar yang jauh, dan tidak seperti saat ini ada wlijo[2]
yang menjual kebutuhan pangan sampai ke rumah penduduk.
Kebiasan-kebiasaan sehat dan sederhana yang dibangun sedari kecil
itu mengakar hingga saat ini. Efek yang ditimbulkannya pun sangat
menguntungkan. Jika dibandingkan dengan orang lainnya beragam penyakit
bersarang dalam tubuhnya. Ketika ditanya bagaimana dengan kebiasaan makan saat
mudanya, ternyata makanan yang dikonsumsi cenderung “yang enak-enak” saja.
Sehat benar-benar mahal, apalagi di tengah pandemi seperti saat
ini. Meski kita semua tahu bahwa semua manusia akan mati, bukan berarti kita
abai pada kesehatan kita. Hidup sakit-sakitan tidak enak. Enakan hidup selalu
sehat.
Semoga bermanfaat.
[1] Menghancurkan
sesuatu atau bahasa orang Tapal Kuda notoh (bahasa Madura)
[2]
Pedagang sayuran yang menjajakan dagangannya ke rumah-rumah
0 Comments