Ilustrasi (foto: internet) |
Sebuah Catatan:
duniahalimah.com—5 Maret 2021 saya mengikuti perlombaan Cabang Musabaqoh Makalah
Alqur’an di Lumajang. Lomba ini diselenggarakan di gedung 2 PCNU Lumajang. Bisa
dikatakan ini perlombaan pertama saya dibidang MMQ. Biasanya lomba
yang diikuti lebih dominan dibidang sastra; membuat puisi, cerpen, atau membaca
puisi. Namun kali itu ternyata lombanya out of the box.
Pada tanggal 2 Maret malam ketua komunitas menelpon dan meminta
saya untuk mengikuti perlomban itu. Sebetulnya, sebelum orang itu menelpon, saya
sudah tahu tentang perlombaan ini, karena dia membagikannya di grup. Hanya
saja, pikiran tidak tertarik sama sekali untuk mencoba. Saat ditelepon, ketua
ini memastikan apakah saya mau. Tanpa pikir panjang, bapak dan emak yang
kebetulan mendengarkan pembicaraan, mengiyakan. Apalagi jika dipikir kembali,
kalah pun saya akan dapat relasi.
Semenjak malam itu, kepala berpikir keras. Bolak-balik mencari
jurnal baik di laman google, maupun mandeley. Disamping itu juga mencoba sharing
dengan teman-teman. Baik dari jurusan IAT, dan teman-teman terdekat saya.
Alhasil, saya mengingat jika di semester satu kemarin pernah mempelajari salah
satu corak tafsir. Kemudian salah satu syarat pembahasan dalam makalah adalah
fenomena terbaru. Kebetulan sebelum Maret, kota Lumajang terkena banjir dan
tanah longsor. Berangkat dari kejadian itulah, maka akhirnya saya jadikan
pembahasan dan disandingkan dengan corak tafsir yang pernah saya presentasikan
itu.
Judul makalah baru saya mantapkan pada hari Rabu, dengan tidak lupa
meminta pendapat dari beberapa kawan mengenai hal ini. Berbagai sumber saya
cari, meski ini kajian bukanlah biasa dijadikan pembahasan. Beberapa
jurnal saya temukan, padahal hari itu Rabu dan Kamis adalah hari kuliah.
Apalagi Rabu malam guru saya kembali ke pangkuan Tuhan, juga menjadi salah satu
faktor lebih banyak menangis. Hingga akhirnya saya menyadari bahwa guru saya
pasti bangga jika santrinya ikut lomba. Saya niat dalam hati, dengan lomba itu
menjadi wasilah, meneruskan perjuangan dakwah beliau.
Hari Kamis pagi, saya masih kuliah sehingga tidak dapat menyaksikan
bagaimana guru saya dikebumikan. Namun saya sangat yakin jika beliau pasti
mendukung apa yang saya pilih. Setelah kuliah rencananya akan segera berangkat
ke tempat guru, tetapi hujan lebih dulu mengguyur dan akhirnya menunda
keberangkatan. Saya lanjut, memilah referensi yang akan saya cetak. Ya, salah
satu syarat dalam perlombaan adalah membawa hard file, no soft file.
Selepas maghrib barulah dicetak dengan meminta antar ke Bapak.
Rasanya sangat mengiris, mengingat uang untuk mencetak tidak ada
dan Bapak hanya memegang uang sejumlah 20 ribu rupiah. Alhasil tidak ada jalan
lain kecuali meminjam uang untuk mencetak file-file ini. Miris masih terasa,
namun saya yakin jika perjuangan ini tidak akan sia-sia. Setelah tercetak
semuanya, saya pelajari kembali isi jurnal dan menandainya agar mudah ketika
diparafrasekan nanti.
Sembari ditemani diskusi dengan teman-teman di grup whatshPap,
bulpoin di tangan menari-nari begitu liarnya. Barulah sekitar 12 malam, saya
paksakan tidur, meski saat itu masih ada dua cetakan jurnal yang belum dibaca. Pagi-pagi
saya bangun dan hanya melihat sekilas referensi itu.
Bersama Bapak dan adik kami menuju ke tempat lokasi perlombaan yang
cukup jauh jaraknya dengan rumah. Sampai di lokasi jam telah menunjukkan pukul
07.28, artinya saya terlambat dari jam 07.00, akan tetapi perlombaan belumlah
dimulai. Saya pikir itulah strategi panitia agar peserta tidak terlambat. Di
dalam ruangan sudah ada beberapa peserta yang hadir. Masuk ke dalam ruangan dan
duduk. Masih terasa asing, apalagi peserta yang hadir sedang membuka leptopnya.
Namun tak kehilangan akal, saya mencari celah untuk menyapanya.
Kemudian dimulailah perlombaan dengan diawali pemeriksaan referensi
dan usia di KTP. Untung saja usia masih di bawah syarat perlombaan. Dilanjutkan
dengan membaca kembali penataan tulisan. Barulah dimulai pada pukul 08.00.
Tanpa berpikir berkali-kali, layar leptop saya perhatikan dan
jari-jari mulai menekan tus-tus secara bergantian. Berkali-kali pihak
penyelenggara mengitari peserta, memeriksa hasil tulisan. Termasuk saya dan
pihaknya bertanya tentang kuliah di mana? Saya jawab UIN Surabaya. Semester
berapa? Semester dua.
11.30 berlalu, tandanya waktu sudah berakhir. Saya biarkan tulisan
di leptop menyala dan keluarlah kaki ini bersama salah satu peserta mencari
udara di luar. Singkat cerita, sesampai di rumah, sekitar pukul 14.00
pengumuman di grup. Puji syukur, nama saya berada di urutan pertama.
Dari kejadian ini, saya mendapatkan pelajaran, menjadi sang juara
butuh perjuangan dan totalitas. Tidak ada kemenangan yang praktis.
Ilustrasi (foto: Kopra) |
0 Comments