Ilustrasi (foto internet) |
duniahalimah.com--Setiap wilayah memiliki tradisi dan kebudayaannya sendiri. Termasuk di Jawa memiliki tradisi yang telah membudaya dan mengakar dalam kehidupan masyarakatnya. Penyebab mengakarnya tidaklah terlepas dari peranan generasi sebelumnya. Itulah mengapa saat telah mengakar, untuk menghilangkannya sangat sukar dari kehidupan masyarakat.
Para walisongo dalam menyebarkan dakwahnya pun tidak semerta-merta menghilangkan tradisi yang telah mengakar di masyarakat ini. Akan tetapi, dengan sikap bijaknya menyusupi tradisi itu dengan misi yang dibawanya. Strategi dakwah yang dilakukan Walisongo inilah belakangan dikenal sebagai salah satu topik pembahasan dalam kajian Islam Nusantara.
Sejarah mencatat Sunan Bonang selain sebagai seorang dai juga membuat tembang-tembang untuk dinyanyikan bersama. Selain itu juga menggunakan seperangkat gamelan dalam mendakwahkan ajarannya. Serupa dengan Sunan Kalijaga melakukan dakwah dengan menggunakan pendekatan wayang.
Walisongo adalah ulama’ bijak bestari yang seharusnya dijadikan referensi bagi dai muda di masa setelahnya. Menyebarkan ajaran tidak menggunakan kekerasan, apalagi dengan tindak mengafirkan. Akan tetapi mereka memodifikasi tradisi dan menyusupinya dengan ajaran Islam. Alhasil Islam dengan mudah tersebar ke seluruh penjuru negeri di Nusantara. Banyak peninggalan yang bisa ditemui dalam kancah kebudayaan hasil dari modifikasi masa penyebaran Islam oleh Walisongo itu. Seperti Grebek Sekaten, tembung-tembung seperti ilir-ilir, dan seterusnya.
Daerah Jawa masa kini, masih bisa ditemui berbagai tradisi yang telah mengakar turun temurun itu. Seperti tahlilan, selametan, selapanan, ngeruwat, wiwit, dan lain sebagainya. Saat memberlangsukan ini masyarakat pada umumnya menggunakan doa-doa dalam Islam, hataman, maupun membaca selawat. Hal ini jelas sekali nilai-nilai Islam telah terbangun dan terbentuk di sana. Meski jika menilik Islam orang Arab pada masa Rasulullah tidak melaksanakan tradisi semacam itu.
Setiap wilayah memiliki tradisi dan budaya berbeda, hal ini pun serupa yang terjadi dengan daerah kelahiran penulis. Sebuah desa yang terhitung sebagai wilayah Tapal Kuda. Tepatnya berada di ujung utara kota Lumajang, Provinsi Jawa Timur. Masih kental dengan nuansa tradisi turun temurun. Realita semacam ini bisa dilihat dari tradisi selametan Malam Jum’at legi. Di mana dalam menyambut itu, para warganya selain berziarah ke makam leluhur, juga ada tradisi membagikan makanan kepada tetangga atau yang disebut selametan. Makanan yang diberikan bermacam-macam, seperti nasi telur, kolak, dan sejenisnya.
Sebuah ensiklopedi menyebut tradisi selametan sudah berlangsung lama di Indonesia, bahkan jauh sebelum Islam datang. Adanya ini menandakan keunikan tersendiri dalam Islam di Indonesia. Selametan sebagai kembang dari perjalanan Islam di Indonesia memiliki nilai agung yang sangat dibutuhkan. Term selametan sebetulnya berasal dari serapan bahasa Arab yakni salamah bermakna selamat. (Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam: Jakarta, 2018)
Seorang sarjana Barat, Clifford Gertz dalam bukunya Agama Jawa menjadikannya sebagai awal pembahasan dalam karyanya. Ia menyebut sebagai sebuah upacara sederhana. Di mana istilah selametan sendiri adalah versi Jawa dengan melambangkan kesatuan mistik sekaligus sosial didalamnya. (Clifford Gertz, 2014)
Selametan bukanlah sesuatu yang dilarang di dalam Islam, bahkan dinilai memiliki titik temu dalam perbuatan baik. Buku “Ensiklopedi Islam Nusantara” menyebut tiga penanda dalam selametan; yakni 1) karena kelahiran, kematian, serta pernikahan, 2) berkaitan dengan hari besar di dalam Islam, 3) karena mempunyai barang-barang baru atau peristiwa besar dalam hidupnya. Mendapati tiga penanda ini mencerminakan khazanah Islam bercorak Nusantara. Serta jika dilihat secara menyeluruh, sejatinya orang Indonesia pandai dalam bersyukur.
Sebelum matahari terbenam ke barat, tepatnya hari Kamis sore, kebiasaan warga desa Ranuyoso adalah nyekar atau ziarah ke kuburan. Hal ini dilakukan untuk mengunjungi makam nenek moyang dengan membawa bunga dan mendoakannya di sana. Wujud ini dilakukan sebagai bentuk pengingat atas orang-orang yang telah mendahului mereka. Selain itu dengan nyekar juga mengingatkan orang-orang jika kelak akan berada di tempat itu juga.
Selain ziarah, setiap rumah menyiapkan makanan; baik berupa kolak, nasi sepiring lengkap dengan telur ataupun lauk pauk lainnya, ketan, dan makanan-makanan lainnya. Setelah itu yang empunya rumah meminta Ustad untuk mendoakannya dengan menghidupkan kemenyan. Umumnya Ustad atau yang mendoakan menyebut nama nenek moyang dengan harapan semoga tenang di alam kubur.
Tradisi ini tidak pernah diajarkan di masa Rasulullah, namun setidaknya ada dua nilai yang bisa didapat. Pertama, nilai sedekah, sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan oleh muslim, “Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak kuat, perbanyaklah airnya dan berilah tetanggamu.” Kedua, nilai silaturahmi, sebagaimana hadis dari Anas “Barang siapa ingin murah rezekinya dan panjang umurnya, maka hendaklah mempererat tali silaturahim. Makna dari mutafakkuh ‘alaih “dan panjang umurnya” maksudnya menunda ajal dan umurnya.
Wallahualam Bissawab.
Artikel ini telah terbit di pcnusumenep.or.id pada tanggal 21 Februari 2021
https://pcnusumenep.or.id/2021/02/21/nilai-selametan-sebagai-modifikasi-dakwah-islam-nusantara/
0 Comments