Ilustrasi (foto: internet) |
Memperbincangkan ideologi, Indonesia adalah salah satu contoh negara yang menjadi ladang merebaknya. Muncul pula bigot-bigot, tidak lain sebagai sebuah kewajaran dalam setiap tubuh individu. Dibekali instrumen layyinah (Lembut) dan syiddah (keras). Di mana menurut Prof. Hussein Aziz, dua instrumen ini bisa diperhatikan seksama pada orang-orang terdahulu. Seperti nabi Nuh yang memiliki sifat keras dan nabi Ibrahim cenderung sabar. Selain dua nabi ini, sahabat Abu Bakar memilik sikap seperti nabi Ibrahim dan Umar mirip nabi Nuh. Terbukti pada perang Badar, Umar memberikan saran agar membunuh lawan, tetapi berbeda dengan Abu Bakar yang menyarankan Rasulullah agar memaafkan saja.
Beralih pada diri Rasulullah, juga memiliki sifat layyinah sekaligus
Syiddah. Masa memerintah di Mekkah beliau menerapkan layyinah, selalu
sabar, meski nyawa sahabatnya hilang. Berbeda ketika di Madinah, beliau sudah
menampakkan syiddah. Selama di kota ini Rasulullah telah berperang
sebanyak tujuh belas kali dalam 10 tahun. Artinya dalam setahun ada dua kali peperangan.
Disamping itu, manusia memilih beberapa kebutuhan; seperti
kebutuhan makan dan minum; kebutuhan kekerasan; dan kebutuhan ilahiah. Adanya
kebutuhan ini saling melengkapi, adanya kebutuhan kekerasan untuk melindungi,
begitu sebaliknya. Namun menjadi problem tersendiri ketika itu semua berlebihan
dan tidak dapat dikendalikan. Tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya,
sehingga menjadikan apa yang dilakukan merugikan dirinya bahkan orang lain.
Penyebab tidak terkendalinya utamanya disebabkan oleh hasrat,
motif, dan ketertarikan. Hingga
menyebabkan seorang individu berbuat sesuatu. Meminjam penyebutan prof Husein
karena ada keterlibatan politik atau motif-motif dibaliknya. Sehingga berdampak
pada pertukaran baik dan salah. Itulah mengapa dalam mengantisipasi pemahaman
sempit seseorang perlu memainkan logika sebelum bertindak.
Berkaitan dengan ideologi, menjadikan seseorang tidak mau menerima
apa-apa yang diluar keyakinannya. Sikap inilah seringkali kita temui di
sekitaran kita. Mudahnya, bisa kita temukan di media sosial. Bagaimana
seseorang memaksakan apa yang diyakini pada orang lain. Meski apa yang
dipaksakan adalah bagus. Misal soal islam moderat, memang islam moderat tidak
ke kanan atau ke kiri, akan tetapi ketika seseorang memaksakan islam moderat
kepada orang yang tidak setuju dengan paham ini. Artinya ia telah menjadikan
apa yang semula netral menjadi keberpihakan atau jadi ideologi.
Memandang apa yang diyakini, terkadang menjadikan seseorang begitu
emosional dan rela melakukan apa pun demi membelanya. Kejadian inilah yang
kerapkali terjadi pada agama. Tidak mengherankan sarjana barat ada yang
menyebut agama sebagai sumber masalah. Bagaimana tidak disebut begitu,
pertikaian antar pemeluk agama masih terus menerus terjadi. Padahal jika ditelisik
secara komprehensif, semua agama mengajarkan kedamaian. Persoalan lainnya,
agama di sini dijadikan tunggangan oleh beberapa oknum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dalam hidupnya.
Alhasil agama terlihat berpotensi berbenturan. Senyatanya pelaku-pelaku agamalah yang menjadikannya begitu. Disinilah seyogyanya diperlukan manajemen konflik. Sehingga seseorang mampu mempertimbangkan mana yang sesuai dan tidak. Juga butuh akan pertimbangan logika yang matang agar tidak terjerumus pada pemahaman langsung pukul rata. (Nur)
0 Comments