Ilustrasi: (foto: pribadi) |
Keputusan adalah takdir hidup yang kau pilih, tentunya tanpa ada kata sesal di dalamnya, yang ada ialah pembelajaran menuju cita.
~Emroni Sianturi
duniahalimah--Pada kenyataannya hidup tidak pernah terlepas
dari berbagai pilihan. Sebagaimana Emroni menuturkan dalam bukunya, “Jika tidak
memilih, ya dipilihkan.”
Pilihan merupakan sebuah keputusan yang selalu ada konsekuensi di
dalamnya. Sehingga, setiap orang harus berani menerima dan menjalani.
Di awal tahun 2022 Emroni Sianturi berhasil
menerbitkan buku cerpennya. Emroni dikenal sebagai pegiat literasi asal desa
pesisir Kalibuntu, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo.
Judul bukunya “Sebuah Pilihan” yang diambil dari cerpen terakhir. Terdiri
dari delapan belas cerpen yang dikemas dengan bahasa apik. Sehingga menjadikan
sesuatu yang berat menjadi ringan.
Emroni begitu lihai membaca realitas, kemudian
dituangkannya dalam bentuk cerita. Mulai dari budaya lokal, kerusakan alam, pemilihan
Kades, gadis, kopi, pandemi, hingga perihal dana bantuan yang dikorupsi.
Semua dicurahkannya dengan bahasa yang indah dan
mudah dipahami oleh pembaca. Saya sebagai pembaca kerapkali tersenyum sendiri,
ketika membaca tulisan Emroni.
Terkadang, ia menghadirkan cerita tegang. Seperti cerpennya yang berjudul “Santet.”
Seakan pembaca diajak berkelana di dunia malam,
tempat Nyi Ema merapalkan mantra untuk
mengirimkan panah kepada tetangga yang dibencinya. Naasnya, akhir kisah Nyi Ema
malah mendapatkan batunya.
Baca Juga: Memilih Hobi Sebagai Pekerjaan
Selain itu, Emroni juga mengangkat kegelisahannya
terhadap lingkungan. Seperti judul cerpennya “Rahasia Uang Sepuluh Ribu.”
Cerita ini mengisahkan tiga orang anak laki-laki yang tengah berbincang-bincang mengenai uang bantuan Covid-19.
Pada
awal pandemi, pemerintah memberikan dana bantuan kepada masyarakat. Akan
tetapi, tidak semua dana tersalurkan dengan baik.
Seperti dalam cerpen ini, tiap warga yang mendapat
bantuan dipotong sepuluh ribu.
“Sungguh tidak berharga bila cuma sepuluh ribu
rupiah saja. Tapi sebentar, mari kita lipat-gandakan “sepuluh ribu” itu dari
satu dusun dulu.” (Hal. 67)
Sebagian orang mungkin menganggap potongan “sepuluh
ribu” sebagai hal biasa dan tidak masalah. Tetapi, jika dikalikan satu
desa, sungguh menguntungkan. Dan, pantas dikatakan korupsi.
Baca juga: Menjadi Pemimpin dari Rahim Masyarakat
Keresehan lainnya tentang kerusakan alam,
salah satunya berjudul “Di mana Aku akan Tinggal?” Diceritakan tentang kedatangan
orang-orang kota yang menyulap tempat tinggalnya.
“Tanah kami memang tak seluas samudra tapi mengapa dengan mudah kami percaya? Bahwa dengan pembangunan rumah bersubsidi, jalanan beraspal, dan dan dipaving di setiap lorong-lorong sepi.
Kendaraan
kian meningkat dengan bau yang menyengat dapat mensejahterakan desa kami?
Apakah mensejahterakan desa harus memporak-porandakan alam? Kami mencintai
alam, Tuan!” (Hal. 53)
Disamping cerita yang saya kutip di atas, sebetulnya masih banyak lagi dan rasanya tidak akan cukup puas, jika kamu tidak membacanya sendiri.
Oleh karena itu, mari dapatkan bukunya, dengan
cara menghubungi penerbit @pesisirpress79 atau hubungi 082-334-315-819.
Baca Juga: Komunikasi Asertif dalam Pernikahan
0 Comments