Ilustrasi: (foto: ADM) |
"Sebuah perjalanan yang mengisahkan tentang realita,
pantai, dan belajar pada Gili Ketapang."
duniahalimah.com—Rabu, 27 April 2022 Saya bersama Aliansi Mahasiswa Darul Mukhlasin melakukan serangkaian survei lokasi ke pulau Gili Ketapang. Sekitar pukul 9 pagi kami meluncur dari Probolinggo bersama enam orang lainnya.
Dari rumah, Saya dijemput Mbak Cicik salah
satu senior yang begitu indah suaranya. Kemudian, sampai di pertigaan Malasan,
bergabunglah Haliza dan Sofyan. Selanjutnya, menghampiri Idris dan menjemput Andi di rumahnya.
Saat di rumah Andi, lemparan canda dan cerita
menjadi bagian di pagi itu. Meski dalam keadaan berpuasa, tidak menjadi boomerang
untuk memilih mundur. Setelah itu, kami berenam menuju pelabuhan. Sesampai
di sana, kami masih perlu menunggu salah satu kawan lagi.
Lagi-lagi—selama menunggu kedatangan kawan
itu—kami berenam saling melempar canda. Barangkali inilah akibat jarang sekali
bertemu, sekali bertemu jadi semangat bercanda. Saya sendiri merasa sangat
beruntung bisa berada di tengah-tengah mereka. Karena, tidak semua yang mengikuti
survei saya kenal sebelumnya, tetapi berkat kegiatan ini jadi kenal.
Setelah semua personil lengkap, barulah kami
menaiki kapal yang akan berlayar menuju pulau Gili. Dari kejauhan, terlihat
salah satu kapal sudah diisi beberapa ibu-ibu. Tanpa menunggu lagi, kami sepakat
untuk menggunakan kapal itu. Layaknya bus di terminal, perahu ini juga menunggu
penumpang hingga penuh agar bisa berangkat.
Menunggu mungkin membosankan, tapi tidak
dengan saya saat itu. Malah, mata menjelajah setiap inci suasana pelabuhan.
Mulai dari kapal-kapal yang berjejer rapi, air hijau tampak tenang, kapal yang
baru datang, hingga soal polisi wanita yang membagikan masker secara gratis.
Terik mentari mulai meninggi, tapi untungnya
kapal dilengkapi dengan atap terpal. Sehingga cukup membantu mendinginkan
kepala.
Sebelum berangkat, seorang bapak berkemeja
meminta ongkos kepada penumpang sebanyak 10.000 ribu perkepala. Tidak lama kemudian,
bunyi mesin diesel di dasar kapal berbunyi, pertanda siap untuk berangkat.
Mula-mula kapal begitu tenang berbelok untuk
keluar pelabuhan, akan tetapi saat posisi tubuh kapal sudah lurus, mulailah
terasa pergerakannya. Tubuh yang semula
gerah menjadi sejuk, ketika kapal mulai berangkat.
Makin lama, kapal yang kami tumpangi menjauh
dari pelabuhan. Saya jadi teringat dengan ucapan Bu guru saat mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam tentang perahu di
laut. Katanya makin jauh perahu berlayar, makin kecil terlihat. Betul ternyata,
dari kapal yang kami tumpangi terlihat
beberapa perahu terlihat kecil nun jauh di sana.
Selain menikmati deburan ombak mengombang
ambingkan kapal. Saya gunakan kesempatan
langka ini untuk merekam suasana perjalanan. Tujuannya, agar bisa dikenang, ya
meski untuk mengenang sesuatu cukup mengandalkan ingatan.
Saya akui, ini adalah awal kalinya mengunjungi
pulau kecil di seberang kabupaten Probolinggo. Bahkan bisa disebut pertama
kalinya melintasi lautan menggunakan kapal. Jika sebelumnya—dua kali dalam
hidup—hanya menaiki kapal dan menikmati
sebentar, tapi untuk kali ini menjalani misi penting.
Kira-kira 45 menit waktu yang dihabiskan
menyeberang lautan. Lambat laun kapal yang kami tumpangi semakin dekat dengan
keindahan karya Tuhan berbentuk pulau itu. Kesan pertama adalah cantik. Langit biru,
laut yang indah, dan ikan-ikan kecil bermain-main di dekat jembatan tempat
kapal menepi.
Kami semua turun dan memasuki gerbang pulau
Gili. Saya sendiri memilih di belakang bercengkrama dengan salah seorang warga
yang juga baru turun dari kapal. Kemudian, menanyakan dua hal yakni tentang pendidikan dan mengapa kambing mengorek-ngorek sampah dipinggir
pantai.
Dari keterangan Bapak itu, pendidikan di pulau
Gili sudah cukup maju, bahkan sudah banyak yang merantau berkuliah di luar
pulau. Kemudian, soal kambing mengorek
sampah ternyata sedang mencari makan. Sesampai di depan gerbang, barulah
bapak itu berbelok ke kiri dan saya segera mengejar teman-teman.
Tujuan kami pergi ke pulau Gili pertama kali adalah
menemui kepala desanya.
Sepanjang jalan kami disambut kambing-kambing berkeliaran seperti kucing. Dua
kata seketika terlontar dalam hati; lucu dan unik. Hebatnya lagi, kambing itu
tidak memakan rumput, tapi kertas-kertas dan apa pun yang bisa dimakan di
pinggiran pantai.
Haliza pernah mengunjungi rumah Kades beberapa
hari sebelum survei. Sehingga dialah yang menjadi penunjuk jalan dalam misi
ini. Gang demi gang telah dilalui, hingga akhirnya salah masuk gang. Alhasil,
kami bertanya kepada seorang perempuan di depan sebuah toko.
Perempuan itu mengatakan rumah Kades bisa
lewat lorong depan rumahnya, kemudian belok kanan. Saat terlihat halaman lebar,
maka tepat disampingnya adalah rumah orang yang kami cari
Sesuai dengan arahan perempuan itu, kami
segera mengikutinya dan ternyata benar. Di tanah kosong itulah beberapa ibu-ibu
berkumpul dan salah satu di antaranya adalah ibu kades. Kemudian, kami
diarahkan singgah ke rumahnya.
Baca Juga: Komunikasi Asertif dalam Pernikahan
Realita Masyarakat Gili
Kami bertujuh duduk di teras rumah Pak Kades,
sembari menikmati siang yang gerah. Untungnya di pelataran rumah pak Kades
ditumbuhi beberapa tumbuhan. Sehingga, cukup membantu meringankan gerah.
Di sana kami disuguhkan dengan jawaban-jawaban
realita masyarakat Gili. Mulai dari pekerjaan,
pendidikan, pernikahan, pertanian, perikanan, keamanan, gender, hingga soal
paceklik. Tentu, semua suguhan dari Pak Kades memberikan gambaran penting
sebagai referensi bagi kami untuk mempertimbangkannya sebagai lokasi
pengabdian.
Rata-rata anak muda di pulau Gili telah
mengenyam pendidikan yang cukup. Bahkan selepas sekolah SMP mereka wajib untuk
bermukim di pesantren dan ada juga yang mondok setelah lulus Sekolah Dasar.
Di pulau ini SD dan SMP sudah ada, hanya Sekolah
Menengah Atas yang masih belum ada. Menurut keterangan Pak Kades, jika ada yang
mau melanjutkan sekolah, maka perlu
keluar dari pulau. Itulah mengapa pesantren dijadikan sebagai pilihan utama
untuk melanjutkan pendidikan.
Tidak cukup sampai di situ, Pak Kades
menceritakan bahwa pemuda di pulau Gili banyak yang kuliah ke luar pulau.
Bahkan ada yang keluar negeri. Sehingga kami menilai, hampir angka buta huruf
sudah tidak ada lagi, kecuali orang tua yang memang tidak memiliki kesempatan
untuk belajar.
Dari segi ekonomi, pulau Gili lumayan cukup. Sumber penghasilannya seperti melaut, membuat kapal, budidaya ikan, dan lain sebagainya. "Budidaya ikan di pulau Gili tercatat terbesar kedua setelah Pangandaran," tutur Pak Kades.
Sedangkan soal keamanan, Pak Kades mengatakan aman. Mungkin hanya sesekali kehilangan beberapa bagian anggota tubuh pada motor, selebihnya jarang sekali. Bahkan bisa dikatakan tidak ada. Soal akses kendaraan, hanya terbatas pada sepeda motor dan motor tosa saja.
Sedangkan problem yang masih belum terpecahkan. Pertama, soal akses kesehatan. Memang di pulau Gili sudah ada bidan desa, akan tetapi ketika ada pasien kritis dan perlu rujukan ke kota, aksesnya cukup sulit, karena masih mengarungi laut. Kedua, soal sampah non lokal yang berada di pinggiran pantai.
Bicara soal sampah ini, Pak Kades menuturkan
bahwa sampah-sampah di pinggir pantai pulau Gili bukanlah milik sampah lokal,
akan tetapi sampah pendatang dari berbagai penjuru. Ternyata benar, sampah-sampah
inilah yang kami saksikan sepanjang jalan menuju wisata andalan pulau Gili.
Tanpa terasa waktu yang digunakan berbincang dengan Pak
Kades telah menunjukkan pukul 14.00. Kami juga sempat menumpang mendirikan
salat dzuhur, mengabadikan gambar bersama, kemudian meminta izin undur diri dan
ingin menikmati suasana pulau Gili sebelum pulang.
Menikmati Pantai
Kami sepakat untuk menikmati pantai. Isteri
Pak Kades mengantarkan kami hingga gang menuju arah pantai. Selanjutnya kami
mengucap salam dan mulai melangkahkan kaki.
Sepanjang perjalanan, lagi-lagi kami bercanda
dengan serunya dan sesekali mengabadikan momen bersama. Sekali bertanya kepada
orang tentang arah ke pantai, baru setelah itu melanjutkan langkah kembali.
Betul ternyata, di bagian selatan pulau Gili
banyak sampah bertebaran di bibir pantai. Beberapa kali saya abadikan dengan
kamera dan mulai berpikir tentang apa yang diucapkan Pak Kades.
Kami terus melangkahkan kaki, meski titik-titik
keringat mulai terasa di dahi. Kami menuju bagian barat pulau Gili yang
biasanya didatangi wisatawan. Namun, ketika langkah sudah sampai ditujuan,
senyum mulai merekah di wajah kami. Berlarian, mengambil gambar, bermain air,
dan menatap tiap lukisan nyata di depan mata.
Sempat juga dua teman kami membantu nelayan
yang tengah menaikkan perahu kecilnya ke daratan. Segeralah saya abadikan momen
langka itu dan beruntungnya mereka berdua mendapatkan hadiah ikan tangkapan
nelayan itu.
Selepas kami bosan dengan bermain air dan
mengambil gambar, akhirnya kami semua bertukar cerita di sebuah gazebo. Ya,
berbagai hal kami ceritakan. Termasuk nostalgia semasa di pesantren.
Seandainya kisah itu dituangkan dalam tulisan
ini, mestinya kamu akan sangat bosan. Biarkanlah ceritanya tertanam di kepala
saja. Cerita sebetulnya belum usai, akan tetapi seorang ibu-ibu dari kejauhan
memberitahu bahwa perahu yang akan membawa kami kembali akan segera datang.
Benar saja, perahu dari kejauhan mendekati tempat kami berdiam diri. Segeralah kami beranjak mendekati perahu dan berharap semoga suatu hari nanti bisa berkunjung lagi.
Sampai di sini cerita kali ini. Semoga
menginspirasi.
Baca Juga: Jangan Menginspirasi Orang lain!
0 Comments