Tanpa terasa enam tahun berlalu. Rasanya seperti kemarin sore menjadi anak lulusan pesantren. Masih terngiang jelas bagaimana saya begitu semangat untuk segera lulus, karena pesantren seperti penjara yang mengunci diri sendiri untuk melihat keindahan dunia luar.
Kadang saya berandai-andai tentang dunia luar yang menyenangkan, bisa terbebas dari peraturan dan kekangan. Namun, prediksi saya salah. Dunia di luar pesantren tidak seperti bayangan selama di pesantren.
Ketika di pesantren, merasa dunia luar begitu indah, gaul, dan banyak hal yang menantang untuk dicoba. Bisa melanglang buana kemana-mana dan mengakses dunia digital secara bebas.
Sedangkan di pesantren, akses internet cukup susah, liburan dibatasi, banyak kegiatan, dan hafalan. Belum lagi dengan tuntutan melaksanakan kewajiban ibadah tepat waktu. Jika tidak, maka akan mendapatkan hukuman.
Beruntungnya, saat di pesantren saya mengikuti segala peraturan yang berlaku. Meski di hati kecil kadang ingin segera lulus dan merasakan hidup di luar. Ya, itu sudah bertahun-tahun lalu, tetapi senantiasa teringat masa-masa itu.
Rasa rindu dengan pesantren begitu mendalam. Mengingat selepas dari pesantren tidak mudah untuk langsung berkunjung. Masih harus mempertimbangkan beberapa hal di dalamnya.
Itulah mengapa jika saya diminta mengisi kegiatan di lembaga pesantren, jarang ditolak. Sebab ini adalah kesempatan untuk mengunjungi tempat belajar masa lalu dan berbagi pengetahuan dengan para santri di pesantren.
Sebagaimana sebulan yang lalu diundang mengisi acara seminar dalam rangka pelantikan Organisasi Siswa Intra Sekolah di Madrasah Aliah pesantren Darul Mukhlashin. Materi yang diminta seputar literasi digital.
Ketika seminar berlangsung, saya begitu menikmati kondisi ini. Sembari berinteraksi dengan mereka, saya terngiang jauh pada waktu seumuran mereka. Begitu antusias menyimak pengetahuan baru dan sangat semangat jika ada alumni yang sudah lulus. Lalu hati kecil akan berdiskusi, "Kapan bisa lulus seperti kakak-kakak itu."
Pada bagian sesi tanya jawab, peserta tak lagi sungkan bertanya mengapa saya bisa seperti saat ini. Seketika saya teringat bagaimana perjuangan ketika hidup di pesantren dengan segala keterbatasan yang ada. Dengan begitu mengalir, saya katakan kepada mereka “Mumpung masih ada di pesantren, gunakan segala kesempatan itu sebaik-baiknya.”
Mengapa saya mengatakan itu? Berdasarkan pengalaman hidup selama ini, lulus dari pesantren kemudian melanjutkan pendidikan di Surabaya. Rasanya sangat jauh dari keindahan yang saya bayangkan sebelumnya.
Perjuangan yang begitu berat, baik persaingan, bertahan hidup, hingga bagaimana cara menjaga diri. Salah satu yang paling saya rasakan perbedaannya, perihal ibadah. Aktivitas ibadah di pesantren dua puluh empat jam ada jadwal yang ditetapkan. Jika santri melanggar, maka ia akan mendapatkan sangsi.
Namun berbeda saat keluar dari pesantren dan merantau lebih jauh. Tidak ada lagi yang membangunkan sholat malam dan mewajibkan melaksanakan ibadah. Mungkin itu bebas, sebab tidak ada sangsi, akan tetapi cukup menantang keistikamahan diri.
Betul-betul, semua murni harus dilakukan berdasarkan kesadaran sendiri. Bukan sekadar itu saja, soal pergaulan juga sangat berbeda. Ketika di pesantren, santri dibedakan lokasinya antara perempuan dan laki-laki.
Kemudian, diminta untuk menjaga pandangan dan dilarang berinteraksi dengan lawan jenis. Akan tetapi berlainan ketika sudah keluar dari pesantren. Semua berkumpul menjadi satu di kampus dan menangani hal ini tergantung pada setiap individunya.
Ketika di pesantren, arahan dari pengasuh dan ustad maupun ustadzah kerapkali didapatkan, akan tetapi selepas dari sana anak lulusan pesantren dituntut untuk mandiri dan bisa membedakan mana yang baik dan buruk sendiri. Itu hanya beberapa dari sekian perbedaan yang saya alami di luar pesantren.
Terkadang saya berpikir, didikan di pesantren sebetulnya sangat dibutuhkan. Meski pada saat menjadi santri merasa terbebani dengan beragam kewajiban di dalamnya.
Saya begitu menyadari akan manfaat didikan di pesantren setelah lulus. Tujuan pesantren membuat peraturan sebagai latihan dan bekal untuk menghadapi kehidupan di luar sana.
Hari ini, 22 Oktober 2022 diperingati sebagai hari santri nasional. Pesan yang sama untuk seluruh santri di mana pun berada, “Gunakan waktu-waktu di pesantren sebaik-baiknya, jika tidak ingin menyesal saat keluar dari pesantren.”
Menggunakan waktu ini bisa dipahami dengan menjalankan segala peraturan yang ada. Satu pesan pengasuh yang sampai detik ini terus terngiang di kepala, jadilah santri yang tanggal, peduli, dan tanggung jawab.
Pesan lain untuk alumni pesantren, tidak ada mantan santri. Meski sudah lulus dari pesantren, tetaplah menyambungkan diri dengan pesantren yang telah mendidik dan menjadikan diri kita seperti sekarang. Selamat memperingati hari Santri Nasional.
0 Comments