Sumber gambar: (Ed.Canva) |
duniahalimah.com--Korean Cool adalah buku kedua yang saya baca tentang negeri Gingseng. Sedangkan buku pertama yang saya baca berjudul Nunchi: Seni membaca pikiran dan perasaan. Keduanya ditulis oleh seorang jurnalis kelahiran Korea yang bernama Euny Hong.
Pertama kali saya membaca bukunya yang berjudul Nunchi membuat adrenalin bekerja lebih cepat. Terasa tidak sabaran untuk terus membaca tentang negara yang sangat terkenal dengan K-Pop nya. Sayangnya saya belum sempat mereview buku itu.
Usai buku Nunchi hatam, saya mencari lagi buku lain tentang Korea Selatan dan bertemulah dengan Korean Cool yang juga ditulis oleh Euny Hong. Meski bukunya terjemahan, data dan tulisan yang disuguhkannya sangat menarik dibaca. Apalagi ketika penulis memposisikan sebagai pengamat, pengkritik, tetapi di sisi lain menyanjung negeri kelahirannya itu.
Berbeda dengan karangannya yang berjudul Nunchi, Korean Cool lebih mendedah bagaimana Korea dahulu hingga bisa semaju sekarang. Kemajuan Korea Selatan tidak terlepas dari han. Sebuah kata yang tidak memiliki padanan kata, sebab han bisa memiliki beberapa makna seperti malu, benci, dendam, kemarahan, dan sebagainya. Han yang dimiliki oleh orang Korea Selatan diyakini telah menyulap kemiskinan menjadi kemajuan.
Kemajuan yang ditekankan oleh Korea Selatan di bidang budaya populer dan teknologi. Selama membaca buku ini, saya benar-benar diajak membaca sejarah Korea yang tidak mudah. Namun berkat semangat dan pantang menyerahnya bisa menguasai pasar. Bahkan mempengaruhi negara-negara luar. Saya pikir tidak terkecuali dengan Indonesia.
Euny Hong sempat tinggal di Amerika, tetapi pada saat SMP tahun 1985, ia beserta keluarganya pindah ke Korea di wilayah Gangnam. Tepatnya di permukiman elit di kawasan Apgujeong. Pada saat itu kata dia Korea tidak seperti sekarang. Teknologinya masih minim dan tergolong sebagai negara berkembang.
Euny Hong mengatakan "Bagaimanapun ada banyak hal dari kepindahan keluargaku ke Korea Selatan yang tak berjalan sesuai harapan" (hal 3). Menurutnya ada banyak kenyamanan yang hilang atas kepindahannya itu. Rasanya sangat pas jika pembaca membacanya langsung. Saya pikir, perubahan lebih baik tidaklah instan. Namun bukan berarti tidak bisa. Nyatanya Korea Selatan bisa mengentaskan kemiskinan dan bisa menjadi negara yang berpengaruh di dunia.
Korean Cool terdiri dari 15 bab yang dikemas dengan cukup apik. Meski buku terbitan Bentang ini terjemahan, nyatanya saya bisa memahami maksud dari penulis aslinya. Dalam penulisannya juga dilengkapi dengan rujukan data. Tentu tidak mengherankan karena penulisnya adalah seorang Jurnalis, yang mestinya berbicara sesuatu dikuatkan dengan data.
Korea Selatan adalah salah satu negara maju di Asia yang sumber pendapatannya memanfaatkan kecanggihan teknologi dan kreativitas. Di antaranya mengekspor budaya populer, K-Pop, Video Games, Samsung, LG, K-drama, dan Halyyu. Sampai hari ini, saya melihat pengaruh produk Korea Selatan menjalar ke berbagai belahan dunia. Bahkan di Indonesia juga menjadi sasarannya.
Saya pikir kita sebagai bangsa Indonesia juga perlu belajar pada Korea Selatan, tentang kesemangatannya dalam meraih sesuatu yang tidak mungkin. Kata Euny Hong, Korea Selatan pernah menjadi negara jajahan, jatuh miskin, dan sempat berhutang. Namun, semua itu berbalik berkat jeli membaca peluang.
Banyak hal menarik tentang Korea Selatan dan saya cukup merekomendasikan untuk siapa-siapa yang ingin mengenal sisi lain Korea Selatan. []
0 Comments