Ilustrasi: (sumber: internet) |
Setiap orang memiliki kisahnya sendiri.
duniahalimah.com--Ada banyak pengalaman manis dan pahit terjadi di masa lalu. Berkat itu setiap kita menjadi seperti sekarang. Seandainya situasi tersebut tidak pernah dialami, mungkin alurnya akan jauh berbeda.
Malam ini (11/06) teringat kisah salah seorang guru saya. Sebetulnya cerita ini sudah beberapa Minggu yang lalu beliau tuturkan. Hanya saja belum sempat untuk menuliskannya.
Beliau bercerita bahwa dirinya saat menempuh strata dua dan tiga mengalami beragam tantangan, sehingga memaksanya untuk terus menerus sabar.
Sempat mengabdikan diri di salah satu lembaga dengan gaji yang lumayan cukup untuk kebutuhan mahasiswa. Sayangnya, jarak ke kampus cukup jauh, tetapi tetap dipilihnya. Hingga suatu ketika ada peluang untuk menjadi pengurus asrama di kampus dengan fasilitas yang jauh lebih memadai.
Baca Juga: Perjalanan Menuju Sarjana
Alhasil, memilih untuk mengambil peluang itu dengan pertimbangan lebih dekat saat kuliah. Namun, setelah dijalani ternyata ekspektasi tidak sesuai kenyataan. Bukan sekadar mengurus mahasantri tapi juga menjadi penanggungjawab keamanan. Soal gaji pun juga bertolak belakang dengan informasi pertama. Meskipun begitu, tetap menjalaninya.
Siapa sangka takdir Allah berbeda, rektor kampus melihat guru saya itu dengan sudut pandang lain. Berkat kesabaran dan ketelatenan mengabdikan diri di kampus membawanya untuk menjajaki dunia akademisi.
Beliau mengatakan ketika melihat penulis seperti mendapati dirinya di masa lalu. Saya pun bertanya "Mengapa bapak memilih jalan ini?" Guru itu menyebut bahwa ia menyukai itu dan sangat kebetulan silsilah keluarganya adalah seorang pendidik. Bahkan tak segan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Termasuk cendekiawan muslim Indonesia Nurcholis Madjid adalah murid dari kakek beliau.
Mendapati kisah di atas saya merasa bahwa setiap orang punya kisah masing-masing, hanya saja mereka tidak menceritakannya. Kalau kita peduli dan mau bertanya, mungkin tidak akan ada kata iri dalam kamus hidup manusia.
Baca Juga: Sebulan Pertama Jadi Dosen
Sayang sekali beliau tidak melanjutkan ceritanya. Meski begitu, saya masih mengingat bagaimana beliau bercerita ketika berkunjung ke rumahnya sebelum pandemi.
Ketika beliau mondok di pesantren Gontor, tepatnya saat mendaftar beasiswa timur tengah jalur hafal Al-Qur'an. Tepatnya pada hari mendekati ujian, bersama teman-teman seperjuangannya ke pesarean sunan Kudus.
Teman-temannya memilih untuk menghabiskan waktu. Sedangkan guru saya ini mencoba mengulang bacaan Al-Qur'an. Siapa sangka saat di tes, apa yang beliau ulang ketika di Sunan Kudus ditanyakan.
Satu lagi yang begitu mengejutkan, yakni tentang isteri beliau memiliki silsilah dari Sunan Kudus. Waktu mendengarkan kisah itu, saya merasakan bahwa Allah punya kejutan-kejutan yang sebetulnya sudah di-notice sebelumnya.
Kisah lain lagi, tepatnya saat di kelas. Setelah lulus dari Timur Tengah, beliau kembali ke Indonesia dan bingung mau melakukan apa. Hingga ada informasi soal pendaftaran beasiswa di IAIN Sunan Ampel (sekarang Sunan Ampel Surabaya).
Baca Juga: The Magic of Words
Kala itu, guru saya tidak memiliki sepeser pun uang, tetapi sempat mendapatkan hadiah sarung yang jika ditukar dengan uang lumayan nominalnya. Akhirnya sarung itu dijual untuk mendaftarkan beasiswa. Hasilnya beliau lolos dan dari sanalah dimulai. Fakta mengejutkan lainnya, beliau memiliki silsilah dari Raden Rahmat tidak lain Sunan Ampel.
Begitulah cuplikan singkat kisah beliau. Saya sangat sadar, keterbatasan ingatan bisa saja membuat tulisan ini sedikit berbeda dengan versi sebenarnya.
Namun, mari coba fokus pada hikmah yang bisa kita pelajari yakni setiap orang memiliki kisahnya sendiri. Bisa jadi apa yang terjadi hari ini memiliki dampak luar biasa di masa depan.
Mari tetap belajar untuk husnudzon atas segala sesuatu yang kita alami saat ini, masa lalu, dan masa depan. Baik untuk kita belum tentu baik bagi Allah.
Baca Juga: Pura-pura Baik-baik Saja
0 Comments