duniahalimah.com–Malam ini, tanpa ragu bergabung ke zoom meeting yang diadakan Danaya. Sebuah komunitas yang didirikan oleh kak Deris Nagara. Berbeda dengan program Massagi yang pernah kuikuti, kali ini adalah webinar Till Jannah Family yang terdiri dari pembicara hebat yang sedang dan sudah lulus kuliah dari luar negeri.
Ada kak Deris Nagara, Kak Fathia, Kak Khansa, Kak Chelline, Kak Zhafira, dan kak Sabrina. Tidak lupa juga moderator keren kak Natasya.
Ketika webinar berlangsung seketika semua indera, perasaan, dan pikiran menyatu. Jawaban-jawaban yang dilayangkan ke-enam kakak pembicara menyiratkan sesuatu yang bagiku memiliki titik kesamaan. Memang setiap dari mereka melihat dari perspektif berbeda–mengingat latar belakang keilmuan yang tidak sama. Namun, ada secercah energi yang membuat pikiran dan hati terkoyak, dan merenung setelah webinar.
Semangat yang sama untuk mengabdikan diri pada Indonesia dan dunia. Tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi di luar mereka juga berarti. Mereka peka membaca situasi. Ketimpangan-ketimpangan di depan mata membuatnya makin terbuka dan menjadikan itu sebagai bahan bakar mengadu nasib, jauh dari tanah air.
Kak Deris yang berkelana dari Sabang hingga Merauke, melihat langsung bagaimana anak-anak kecil calon penerus generasi bangsa hidup dalam serba kekurangan. Untuk sekolah pun perlu naik dan turun gunung. Lalu mereka berkata kepada kak Deris, "Terima kasih kak karena sudah memberikan harapan dan mimpi." Kemudian, kak Deris berkata pada diri sendiri, "What I do? What will you do?"
Aku yang hanya mendengarkan dan memutar ulang ingatan saat menulis, tiba-tiba meneteskan air mata. Bagaimana dengan yang mengalami situasi itu? Tidakkah tercabik-cabik, saat saudara sebangsa setanah air belum mendapatkan apa yang kita dapatkan hari ini.
Kemudian kak Fathia perihal perempuan yang harus jadi garda terdepan. "Dulu banyak pemikiran atau stigma bahwa perempuan enggak boleh sekolah tinggi. Padahal ibu adalah pendidikan pertama bagi anak-anaknya. Artinya semakin tinggi pendidikan seorang perempuan, pengetahuan yang dimiliki bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk anak," jelas kak Fathia. Sesederhana mencuci piring sendiri, membersihkan kamar, atau berbagi pengalaman saat mengenyam pendidikan.
Satu lagi tentang kegelisahan kak Fathia mengenai pemahaman HAM di bangku sekolah masih terbatas pada hal-hal yang berat seperti G30S PKI. "Padahal HAM itu berkembang," kata kak Fathia lagi. Lalu jawaban terakhir darinya, "Don't be afraid untuk mengangkat topik HAM kalau disuruh buat project."
Selanjutnya disusul oleh kak Khansa yang memaparkan tentang tantangan di era disrupsi dan kita perlu melek dengan teknologi agar tidak ketinggalan. "Dulu desain memerlukan banyak orang, sekarang tidak perlu lagi. Cukup memanfaatkan teknologi," tuturnya. Bagi kak Khansa untuk mampu bersaing, sangat perlu mencari alternatif supaya tidak sekadar belajar di bangku kuliah, tetapi bisa mengikuti pelatihan. Apalagi adanya program MBKM menurutnya sangat membantu mahasiswa untuk belajar langsung dari pelaku industri. Di UGM tempat kak Khansa bekerja ada GKI yang dijadikan sebagai wadah untuk bisa survive dengan keadaan yang begitu cepat. Pesan darinya, "Jangan menunggu berada di titik tertentu untuk bermanfaat. Selalu lakukan hal bermanfaat dalam setiap langkah."
Pembicara dilanjutkan ke kak Celline. Siapa sangka kakak ini ternyata dari Jember, tetangga kabupaten sebelah. Sekarang ia sedang melanjutkan pendidikan di Harvard University di program master Global Health. Menurutnya ilmu tentang public health sangat tua, hanya saja dunia kesehatan baru menyadari bahwa penyakit bisa menyebar antar negara.
Persoalan tersebut baru disadari saat Covid-19 menumbangkan banyak nyawa di seluruh dunia. Bagi kak Celline kesehatan sangat berkaitan dengan banyak hal dalam kehidupan manusia termasuk pendidikan. Bagaimana akan bersekolah kalau sedang sakit? Kesehatan individu sangat berkaitan dengan kesehatan masyarakat, karena apa pun program pemerintah kalau individunya tidak menjaga kesehatan maka tetap kena. Sebegitu pentingnya menjaga kesehatan. Bahkan sangat diperlukan support system dan public policy untuk mencapai langkah itu.
Webinar dilanjut ke Kak Zhafira. Ia berbicara edukasi seks yang nampaknya masih tabu dibahas di Indonesia. Padahal ini sangat penting untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual maupun pernikahan usia dini. Menurutnya dalam kurikulum pendidikan belum ada pembelajaran tentang bagaimana cara berkomunikasi asertif dan menyebut dengan tegas nama kelamin. Alhasil, karena dari kecil pembahasan seks dianggap tabu, para penyintas diam, tidak tahu cara menolak, dan tidak tahu cara melaporkan kejadian yang dialaminya. Apalagi di tengah masyarakat, penyintas kerapkali mendapat victim blaming dari masyarakat. Pada titik inilah kata kak Zhafira sangat diperlukan semangat proaktif untuk melakukan pencegahan sebelum terjadi.
Pembicara terakhir dari Kak Sabrina yang kini bekerja di bidang bisnis digital seperti pembuatan website dan aplikasi. Permasalahan yang ia temukan selama ini saat membuat sebuah platform, aplikasi atau website yang sudah dibuat user friendly. Hanya saja ketika dicoba ke target pasar yang umumnya generasi lebih tua, platform itu perlu dirombak ulang. Baginya sangat perlu untuk meneliti terlebih dahulu sebelum membuat produk digital. Hal inilah yang dilakukannya selama ini. Bagi kak Sabrina agar bisa bertahan di tengah gencarnya teknologi, seseorang perlu membangun team work (tim kerja) yang bagus. Bukan itu saja, perlu juga untuk berpikir tersistem, "Apa solusi untuk menyelesaikan permasalahan?"
Itu bagian penjelasan singkat dari ke-enam kakak-kakak pembicara. Jika ditarik kesimpulan, sejatinya semuanya mengarah pada satu titik yakni tentang pendidikan. Pendidikan yang baik dapat berpengaruh pada kesejahteraan hidup seseorang. Baik ekonomi, pemikiran, budaya, gender dan seksual, kesehatan, dan teknologi. Ketika pendidikannya bagus, semangat belajarnya membara, maka disitulah datang kemudahan-kemudahan kedepannya.
0 Comments