Doc. Panitia YFLA (Foto bersama saat pembukaan) |
duniahalimah.com–(6/2) Kereta yang kutumpangi sepanjang malam (5/2) memasuki wilayah Jakarta dengan tujuan akhir stasiun Pasar Senen. Kubawa koper berwarna silver itu menuruni gerbong kereta.
Setelah turun, kupastikan kembali kebenaran stasiun yang kutuju, apakah tidak salah berhenti? Sesudah yakin, selanjutnya menghubungi Agnia Hasanah duta inisiatif Indonesia batch 3 yang sudah sepakat bertemu dan akan berangkat bersama ke Banten.
Ketika dihubungi, posisi Agnia sedang di terowongan bawah tanah dan aku berada di area tunggu kereta. Akhirnya, ku langkahkan kaki menuruni tangga menuju lokasi duta itu. Benar saja dia ada di sana.
Ini pertama kalinya bertemu setelah mengenalnya hampir setahun lalu melalui media massa. First impression yang terbesit ketika bertemu dengannya, “Seperti orang Tionghoa.” Selanjutnya, ia membantuku untuk memesan kereta listrik menuju stasiun Rangkas Bitung.
Sembari memesan, tidak lupa mengambil dokumentasi untuk memberitahu mereka yang di Banten bahwa kami sudah bertemu. Selanjutnya, check in ke area tunggu kereta listrik. Lalu melewati tangga yang menghubungkan area tunggu dengan terowongan.
Lokasi tunggu KRL terlihat sepi, hanya beberapa orang di sana. Kata Agnia, karena orang-orang sudah berangkat kerja makanya jadi sepi. Sebaliknya, ketika memasuki waktu keberangkatan dan kepulangan kerja, KRL penuh dan tidak jarang penumpang berdiri dan berdesak-desakan demi sampai tujuan.
Baca Juga: Tidak Ada Daun Yang Jatuh Karena Kebetulan-Cerita Keterlambatan Pulang ke Surabaya
****
Sebuah kereta listrik melaju dari arah kanan tempat kami duduk. Agnia segera memastikan jalur kereta itu kepada pak satpam yang terlihat di pintu kereta. Ternyata KRL itu akan melewati stasiun Tanah Abang. Segeralah kami menaiki KRL di depan kami dan berangkat.
Sepanjang perjalanan kami mendapati suasana KRL yang tidak ramai, berbanding terbalik saat transit di tanah Abang. “Lautan manusia,” dua kata ini yang terbesit di kepala. Agnia sebagai orang yang cukup familiar dengan lokasi tersebut masih memastikan lagi tentang peron mana yang harus kami naiki untuk menuju stasiun Rangkas Bitung.
Semua orang di lokasi itu nampak sangat sibuk untuk berpindah peron sembari membawa barang bawaannya. Beruntungnya kami menggunakan eskalator sehingga barang bawaan terasa tidak terlalu barat.
Beberapa saat berlalu dan kereta yang kami tunggu kedatangannya muncul, lalu naiklah kami berdua. Stasiun Rangkas Bitung masih jauh, sangat cukup jika waktu perjalanan digunakan untuk terlelap. Ya, aku tidur dan terjaga beberapa kali selama kereta melaju. Sesekali berbicara banyak hal dengan Agnia, layaknya kawan lama yang baru saja berjumpa.
Rintik-rintik hujan membasahi seluruh gerbong kereta. Semua tumbuhan sepanjang jalan ikut pula basah. Aku menyaksikan adegan itu merasa sangat puas. Jam-jam yang kulalui telah membawaku duduk di kursi kereta listrik ini menyaksikan keindahan semesta.
Sekitar pukul 12.30 kereta yang kami tumpangi sampai di stasiun Rangkas Bitung. Aku melihat seekor kucing dan tangan tergerak untuk memberikan makanan kucing yang ada di tasku. Tindakan ini pun mengundang kucing lain untuk bergabung dengannya.
Baca Juga: Duta Inisiatif Indonesia Usung Misi Menjaga Lingkungan
Sesudah itu kami mencari pintu keluar. Langit masih terlihat mendung, tetesan airnya masih turun, meski sudah tidak selebat saat di kereta.
Di depan stasiun, kami mendapati orang-orang yang berlomba-lomba menawarkan jasanya. Mulai dari angkutan umum, ojek, sampai jasa membawakan barang. Seketika pesan dari founder Duta Inisiatif terbesit di kepala, “Jangan mau, carilah ojek di Indomaret terdekat.”
Aku sadar betul, lokasi seperti stasiun memang tempat empuk untuk menawarkan jasa, meski tidak semua bisa dipercaya sepenuhnya. Untuk mengantisipasi itu, maka menolak dengan halus adalah langkahnya.
Perut kami belum lapar, tetapi jam makan siang seharusnya ditunaikan. Apalagi diri ini sedari pagi hanya mengkonsumsi mie cup yang dibeli di kereta. Dua mangkok bakso disuguhkan di meja kami duduk. Rasanya masih sama, meski tampilan baksonya berbeda bila dibandingkan di Jawa Timur.
Pada momen membayar ke kasir ada kisah menarik. Aku membayar dua mangkuk bakso di meja, tujuannya agar uang 100 ribu milikku terpecah. Setelah membayar, Agnia berjalan ke arah kasir. Aku sama sekali tidak berpikir ia akan membayar, karena aku berkata padanya bahwa aku akan membayar.
Baru kutahu bila kami sama-sama membayar saat menaiki angkutan umum. Ini memang bukan adegan lucu, tetapi bisa jadi pelajaran untuk berkomunikasi dengan jelas. 🤣
Satu lagi, aku mendapati seorang kakek tua dengan tongkat di tangannya sedang menengadahkan tangannya di warung itu. Dan tergeraklah untuk membagi apa yang kami punya.
Sesudah membayar bakso, kami memutuskan untuk mencari Indomaret atau Alfamart. Bermodalkan map di gawai bisa menemukan titiknya. Kami segera membawa koper masing-masing menuju Indomaret, lurus sedikit, lalu ke kanan. Sesampainya di sana ada seorang laki-laki yang bertanya hendak kemana. Sebagaimana petunjuk yang kami dapat, dari stasiun Rangkas Bitung menuju Mandala menggunakan ojek seharga 10.000 rupiah.
Sepanjang jalan, aku berceloteh panjang lebar dengan bapak ojek. Namun, saat menempuh separuh jalan, seorang sopir angkutan umum memberhentikan kami dan melakukan negosiasi. Ternyata mereka akan melalui Cibaliung. Seusai melewati diskusi yang alot, alhasil memutuskan untuk menggunakan angkutan itu, meski sebetulnya harganya lebih mahal dibanding panduan.
Kami pikir, angkutan umum ini akan berangkat cepat. Nyatanya, masih menunggu penumpang yang lain. Entah berapa jam kami menunggu. Bosan terus saja datang, meski begitu aku meyakini "Tidak ada daun yang jatuh karena kebetulan." Ya, sembari menunggu angkutan berangkat, aku dan Agnia berbincang-bincang dengan penumpang lain. Penumpang itu berkata, "Kemungkinan sampai Cibaliung hampir Maghrib".
Meski berada di posisi menunggu sesuatu yang tidak pasti, aku menyadari satu hal tentang diriku, "Belajar sabar" sabar dengan apa pun yang terjadi. Akhirnya sopir melajukan angkutannya.
Cuaca di luar semakin tidak bersahabat. Air hujan bagai ditumpahkan dari atas langit sana. Aku yang semula berpikir kendaraan yang kami tumpangi akan langsung menuju Cibaliung. Ternyata kami diminta untuk mengganti angkutan di terminal Kadubanen.
Air hujan masih terus saja mengguyur dan petualangan dengan angkutan selanjutnya dimulai. Perjalanan yang kukira singkat, ternyata memakan waktu begitu panjang. Berkali-kali terlelap dalam mimpi, tetapi masih belum sampai.
Sepanjang jalan, pikirku berkelana ke mana-mana. Bagaimana mereka melalui ini semua? Seperti halnya founder Duta Inisiatif yang berkuliah di Bali, bagaimana ia bisa melewati semua perjalanan ini? Berapa jarak dan waktu tempuh yang mereka habiskan?
Demi meraih mimpi-mimpi dan mengubah nasib, pemuda Cibaliung ini melampaui keterbatasannya. Di tengah transportasi yang begitu sulit, ia mampu menyelesaikan studinya dan bercita-cita membangun akses pendidikan di desanya.
Air hujan masih terus mengguyur angkutan yang kami tumpangi, Kak Yani founder Duta Inisiatif meminta kami untuk mengirim lokasi. Di sana terlihat jarak kami tidak terlalu jauh.
Lelah sepertinya telah bertandang, sesekali orang di angkutan saling menyapa. Orang yang duduk di sebelah kuajak bicara, ternyata ia murid dari kak Yani. Lalu gadis di belakang tempat dudukku juga berkata bahwa dirinya adalah teman sekelasnya. Sungguh sangat kebetulan. Pikirku seketika, "Founder kami seviral itu." Kami mengabadikan gambar bersama, lalu mengirimkannya ke grup.
Semua orang terus saja menikmati setiap perjalanan, sembari menyibukkan diri dengan kecamuk pikiran masing-masing. Lokasi Kak Yani terlihat makin dekat dan benar saja, ia menaiki motor bersama seseorang dari arah berlawanan. "Mbok" kata itu terdengar di telinga. Seketika menyadarkanku bahwa aku telah sampai di tempat didirikannya Duta Inisiatif Indonesia.
Sebelum memutuskan untuk pergi ke Banten, keraguan dan sedikit ketakutan datang. Mengingat seumur hidup baru kali ini menaiki kereta sejauh itu dan bermodalkan panduan dari orang yang belum pernah kutemui secara nyata.
Mentari mulai terlihat di balik awan yang mulai terang. Aku terheran-heran mendapati pukul 17.00 WIB, tetapi matahari masih belum tenggelam. Bila dibandingkan dengan Jawa Timur, harusnya ini sudah nyaris akan Maghrib.
Akhirnya kami turun di sebuah pasar. Murid kak Yani yang kami temui di angkutan berkata, "Hati-hati Kak, jangan percaya pada siapa pun. Tunggu kak Yani." Aku hanya mengiyakan, lalu berucap salam perpisahan. Berbeda dengan Agnia, ia langsung bereaksi saat seorang laki-laki paruh baya membawa koper kami. Laki-laki itu pun menjawab, "Saya bapaknya Yani".
Mengulang ingatan itu, seulas tawa terus saja keluar. Wajar bagi seseorang yang belum pernah bertemu, lalu barang bawaan dibawa begitu saja. Bapak itu mengajak kami ke warung nasi gorengnya yang tidak jauh dari lokasi turun dari angkutan. Setelah sampai, kami berdua meminta izin untuk menunaikan sholat jama' takhir yang belum tertunaikan di masjid terdekat.
Sehari semalam dari Surabaya ke Cibaliung, sama sekali belum merebahkan punggung. Kesempatan setelah shalat sembari menunggu adzan kami gunakan untuk istirahat sebentar. Setelah sholat Maghrib aku dan Agnia bergegas turun dari lantai dua masjid itu. Seorang pemuda dari kejauhan tampak sumringah, ya dialah founder yang telah menjadi media bagi kami untuk memulai perkenalan dengan Cibaliung.
Aku sudah tidak terlalu ingat bagaimana percakapan lengkap kami di pertemuan pertama ini. Namun, aku mengingat bagaimana momen menceritakan ulang kisah saat turun dari angkutan. Ya, rasanya sangat melegakan bisa sampai di tujuan dengan selamat.
***
Kisah ini akan berlanjut di postingan selanjutnya
Baca Juga: Catatan Perjalanan YFLA Duta Inisiatif Indonesia Surabaya-Jakarta
0 Comments