![]() |
Doc. (Pribadi: wisata Pantai Mbah Drajid) |
duniahalimah.com–Dua bulan ini ada banyak hal terjadi silih berganti. Semua emosi bercampur aduk layaknya adonan yang begitu pas untuk menciptakan citra rasa roti kehidupan.
20 Maret 2025 bila kamu melihat insta story Instagram @duniahalimah_, nampak terunggah foto di sebuah optik dan captionnya tertulis, “Ternyata punya mata itu nikmat.”
Sudah setahun lalu mata ini terasa berbeda bila dibandingkan masa kecil dulu. Pernah suatu sore, di rumah kakak Probolinggo, ponakan mengajak berkeliling kampung menaiki sepeda ontel. Kami berdua berniat melihat proses pembangunan tol di wilayah sana.
Menjelang maghrib, matahari mulai terbenam, tersisa mega merah di barat sana. Tiba-tiba mata terasa kabur saat mengayuh sepeda. Sesampai di rumah kakak, segera bertanya kepada Bapak. Bapak pun menjawab, “Wajar, lawong surup” —maksudnya wajar maghrib ya gak kelihatan.
Setelah itu, merasa ya sudahlah. Hingga akhir 2024 mulai merasa ada yang berbeda. Ketika melihat benda jarak jauh terasa buram, barulah saat didekati bisa nampak jelas.
Akhirnya, tangan ini tergerak untuk mengumpulkan informasi-informasi mengenai apa yang dialami. Mulai dari bertanya pada kawan, berselancar di internet, hingga mencoba menelusuri optik terdekat. Hal ini terus berlanjut dilakukan secara ketat, layaknya sedang meriset penelitian tugas akhir Phd.
Hingga akhirnya 20 Maret 2025 selepas sholat Maghrib memutuskan datang ke optik yang sudah diriset dengan begitu detail. Malam itu, barulah mengerti jika mata ini sebetulnya nikmat.
Bicara tentang nikmat, mari mundur ke momen selama di rumah. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba di sebuah malam menjelang tidur, telinga panas, muka terasa ingin digaruk, dan saat berkaca telah berwarna merah.
Keesokannya pun berlanjut, jari tangan dan kaki mulai muncul benjolan-benjolan kecil. Meski kecil tapi terasa begitu gatal. Pada titik ini merasa momen di tahun 2021 terulang kembali. Saya berikhtiar menggunakan salep gatal dan sabun antiseptik yang biasa digunakan saat mengalami situasi serupa. Namun, itu hanya reda sebentar.
Penyebab gatal belum diketahui pasti, akan tetapi mencoba menerimanya. Menyadari bahwa sebelumnya pernah lebih parah dari ini. Kini–ketika menulis--merasa sangat bersyukur karena sudah sembuh dari yang dialami beberapa hari lalu. Ternyata, kulit tanpa rasa gatal itu nikmat.
Ya, pembelajaran tentang nikmat tidak berhenti sampai di situ saja. Menjelang beberapa jam sebelum balik ke perantauan terpeleset di lahan basah penuh semak belukar. Jika ditanya bagaimana rasanya? Tentu sakit. Saya pikir sakitnya sebentar dan tidak memutuskan pergi pijat. Siapa sangka sesampai di rantau, bekas luka saat terpeleset membiru, menjadikan diri ini semakin tertampar. Ternyata berdiri dan duduk tanpa sakit itu nikmat.
Saya tahu, ini bukan akhir dari mempelajari mata kuliah nikmat, tetapi awal belajar menyadari nikmat yang diberikan-Nya.
Selagi nikmat itu ada, mari sadari dan syukuri.
Selamat hari Kartini dan selamat beristirahat untuk yang baru pulang beraktivitas
Baca Juga: Bukan Soal Mie Gorengnya
0 Comments